PDKT BUNG KARNO KEPADA FATMA

October 31, 2017 0 Comments


Bung Karno bolehlah kita tasbihkan sebagai perayu ulung. Dalam tulisan terdahulu, kita ketahui bagaimana Soekarno muda “memburu” noni-noni Belanda menjadi kekasihnya. Kisah itu pun berhasil dengan gilang gemilang. Dalam sejarah hidup cintanya, gadis pertama yang ia cium adalah gadis Belanda. Tercatat pula sedikitnya empat noni Belanda pernah singgah mengisi dunia cinta Soekarno. Menilik track record itu, kita tak perlu ragu, ihwal kepiawaiannya menggaet wanita.
Yang ini tentang percintaan klasik Bung Karno dan gadis belia asal Bengkulen (Bengkulu) bernama Fatmawati. Romansa cinta Soekarno-Fatmawati sangat kesohor karena memang telah ia umbar dalam banyak buku. Anda tahu? Bung Karno naksir Fatmawati ketika Fatma masih berusia 15 tahun. Setahun lebih muda dari Ratna Djuami, anak angkat Soekarno-Inggit Garnasih sewaktu proklamator kita menjalani hidup pengasingan di Bengkulu. Fatma dan Ratna berkawan baik karena mereka memang sebaya.
Perjumpaan Bung Karno-Fatmawati lebih intens manakala Bung Karno diterima sebagai tenaga pengajar di sekolah rendah agama Muhammadiyah pimpinan hassan Din, ayahanda Fatmawati. Bung Karno menganggap permintaan Hasan Din kepada Bung Karno untuk menjadi guru adalah sebuah rahmat. “Tapi ingat, jangan sekali-kali Bung  membicarakan tentang politik,” ujar hassan Din mengingatkan.
“Ah, tidak,” Bung Karno menyeringai, “saya hanya kan menyinggung tentang Nabi Muhammad yang selalu mengajarkan tentang kecintaan pada Tanah Air.”
Nah, di kelas itulah ada Fatmawati sebagai salah satu muridnya. Fatma berarti “bunga teratai”, wati berarti “kepunyaan”. Dalam  menggambarkan sosok Fatma, Bung Karno menunjuk rambutnya bak sutra dibelah di tengah dan menjurai ke belakang terkepang dua.
Oleh orangtuanya, Fatma bahkan dititipkan tinggal bersama keluarga Bung Karno-Inggit saat ia melanjutkan pendidikan ke sekolah rumah tangga di Bengkulu, satu satunya sekolah jenjang tertinggi di Bengkulu. Bung Karno bahkan sempat mengajari Fatmawati bermain bulutangkis.
Hari bergulir, hingga tersebutlah suatu sore di tahun 1943, saat untuk pertama kalinya Bung Karno berkesempatan jalan-jalan berdua Fatma. Keduanya menyusuri pasir pantai. Sesekali alunan ombak berbuih putih memukul-mukul kaki keduanya.
Sembari menyusuri pantai di sore yang romantis, keduanya menyoal banyak hal mulai dari soal ketuhanan dan soal-soal agama Islam pada umumnya. Tiba pada langkah entah yang keberapa ratus, Fatma mengajukan tanya, “Mengapa orang Islam dibolehkan mempunyai istri lebih dari satu?”
Mengalirlah penjelasan Bung Karno yang bertolak dari kejadian tahun 650 M saat Nabi Muhammad mengembangkan Islam. Karena pertentangan kaum kafir, memunculkan semboyan pada zaman itu, “Pedang di satu tangan dan Al-Qur’an di tangan yang lain. Di antara laki-laki banyak yang menjadi korban...” lalu Fatma menukas, “Itu berarti banyak perempuan menjadi janda.”
Nabi pun kemudian menerima wahyu yang mengizinkan laki-laki mempunyai istri sampai empat orang agar tercapai suasana tenang. Tapi, kata Bung Karno, di Bali orang menjalankan poligami secara tak terbatas. Seorang pangeran yang sudah berumur 76 tahun belum lama ini mengawini istrinya yang ke-36. Umurnya 16 tahun. Lagi-lagi Fatma menukas, “Usia yang cocok untuk perkawinan.” Kala itu, usia Fatma adalah lima belas setengah tahun.
Dialog terus berlanjut, hingga bertanyalah Fatma kepada Bung Karno, “Jenis perempuan mana yang bapak sukai?” kaget sejenak, Bung Karno lantas memandang gadis desa putra tokoh Muhammadiyah yang berbaju kurung merah, berkerudung kuning itu seraya menjawab, “Saya menyukai perempuan dengan keasliannya. Bukan wanita modern pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan. Saya suka wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senantiasa mengambilkan alas kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya suka dengar menyuruh suaminya mencuci piring.”

“Saya setuju,” bisik Fatma. Mendengar percakapan mulai bersambut, Bung Karno makin semangat menimpali, “Saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia denga anak banyak. Saya sangat mencintai anak-anak.” Lagi-lagi Fatma menyahut, “Saya Juga.”

Minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Rasa cinta mulai bersemi di hati keduanya. Fatma begitu mengagumi Soekarno. Begitu pula sebaliknya. Meski begitu, Bung Karno berusaha memendam perasaan itu dalam-dalam karena pernghargaannya yang tinggi terhadap Inggit, yang sudah separuh usianya mendampingi dengan setia.

0 Comments:

KISAH BUNG KARNO MENAKLUKAN EMPAT NONI BELANDA

October 31, 2017 0 Comments



Ini adalah sepenggal pengalaman hidup proklamator kita saat ia duduk di bangku HBS (Hogere Burger School), sebuah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda. HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Di HBS Surabaya ketika itu, dari lebih 100 murid, hanya 20 orang yang pribumi.
Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta dan Medan, Sedangkan AMS ada di kota Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta dan Surabaya. Begitu sekelumit tentang HBS.
Sebagai pemuda, Bung Karno dalam penuturannya kepada Cindu Adams, penulis biografinya, menuturkan ihwal semangatnya yang membara untuk bisa menaklukan noni-noni Belanda, agar bisa menjadi pacarnya. Bukan saja karena penasarannya sebagai laki-laki menaklukan gadis bangsa penjajah, lebih dari itu ia juga punya tujuan lain, yakni agar capt mahir berbahasa Belanda.
Sebagai pemuda yang mengaku tampan selagi muda, Bung Karno penuh percaya diri “mengejar” gadis-gadis kulit putih. Dengan kepandaian otaknya, dengan penampilannya yang percaya diri, serta dengan tampangnya yang tampan, singkat kata Soekarno muda mulai mendapatkan gadis-gadis putih idamannya. Ia mencatat, gadis bule HBS yang pertama jadi kekasihnya bernama pauline Gobee, anak salah seorang gurunya di HBS. Pauline dikisahkan sebagai gadis Belanda yang cantik dan Soekarno tergila-gila kepadanya.
 Perjalanan cinta Soekarno beralih ke gadis putih lain bernama Laura. Betapa Soekarno juga memuja Laura. Ia memanfaatkan setiap kesempatan untuk bisa dekat dengan Laura. Tapi, kisah cintanya dengan Laura tak berlangsung lama.
 Perburuan cinta Soekarno berlanjut. Ia berhasil menangkap seorang kekasih bule yang nomor tiga. Mungkin Soekarno tidak benar-benar mencintainya. Buktinya, dalam otobiografinya, ia sendiri lupa nama noni Belanda ketiga yang dipacarinya. Yang ia ingat, gadis itu dari keluarga Raat, seorang Indo yang punya beberapa putri cantik.
Yang juga ia ingat, rumah keluarga Raat berlawanan arah dengan rumah yang ditinggali Soekarno (di rumah HOS Cokroaminoto). Sekalipun begitu, selama berbulan-bulan pacaran, Bung Karno rela tiap hari jalan berputar arah hanya untuk menemani gadis pujaannya.
Nah, tambatan hati keempat tidak pernah ia lupakan. Ia adalah seorang noni Belanda nan cantik. Soekarno ingat betul namanya: Mien Hessels. Seketika, Mien Hessels mampu menutup lembaran-lembaran indah Soekarno muda bersama pauline, laura dan juga putri keluarga Raat.
Mien Hessels telah menyihir Soekarno menjadi gelap mata. Soekarno memuja Mien Hessels sebagai “kembang tulip berambut kuning, berpipi merah mawar”. Kulitnya halus selembut kapas. Rambut blondenya ikal mayang. Pribadinya memesona. Soekarno bahkan merasa rela mati untuk mendapatkan gadis pujaannya. Maklumlah, usia Soekarno 18 tahun ketika itu.
Dan demi mendapatkan gadis bule pujaan hatinya, Soekarno benar-benar nekad. Suatu hari, ia menetapkan hati melamar Mien Hessels. Benar-benar nekad! Ia mengenakan busana terbaik, bersepatu pula. Sebelum melangkahkan kaki keluar rumah, Soekarno duduk di kamar, melemaskan lidah, menghafal kata, melatih bicara dalam bahasa Belanda yang intinya adalah: Melamar Mien Hessels menjadi istrinya
Sore itu begitu cerah, Soekarno mengayun langkah menuju rumah Mien Hessels. Begitu memasuki halaman rumahnya, tiba-tiba hatinya menggigil ketakutan. Belum pernah sekali pun Soekarno bertamu ke rumah orang Belanda yang mewah. Halamannya ditumbuhi rerumputan laksana hamparan beledu hijau. Kembang-kembang aneka warna berdiri tegak baris demi baris. Sementara, Soekarno tak punya topi untuk dipegang. Karenanya, ia hanya memegang hati, agar tak gugup nanti.
Di hadapan seorang laki-laki tinggi besar, ayah kekasih hatinya, Bung Karno melepas kata, “Tuan, kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak Tuan....” Belum selesai Soekarno muda bicara, ayah Hessels melabraknya, “Kamu?! Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku?! Keluar kamu binatang kotor. Keluar!!”
Soekarno hanya bisa melongo. Ekspresi wajah pucat pasi dengan langkah gontai ia angkat kaki. Hatinya begitu pedih bak dicambuk, muka coreng-moreng bak dicerca caci, hati terhina-hinanya, bak pengemis renta dihardik tuan kaya. Pendek kata peristiwa itu melekat sepajang hayat.
Tuhan sungguh mencintai Soekarno. Waktu terus berlalu dua puluh tiga tahun sejak peristiwa menyedihkan itu terjadi, tepatnya tahun 1942, Perang Dunia II tangah berkecamuk. Soekarno sendiri sudah menjelma menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan bagi bangsanya. Suatu sore, ketika sedang berjalan-jalan di suatu jalanan di jakarta. Ia mendengar seorang wanita menyebut namanya, “Soekarno?” berpalinglah Soekarno ke arah pemanggil seraya menjawab, “Ya, saya Soekarno.”
Wanita itu tertawa terkikik-kikik, “Dapat kau menerka siapa saya?” Soekarno memandangi wanita berbadan besar, jelek, tak terpelihara. “Tidak, Nyonya... saya tidak dapat menerka, siapakah Nyonya?”
Wanita itu kembali tertawa terkikik-kikik sebelum menjawab, “Mien Hessels!” dia terkikik lagi.
Hati Soekarno menyeru, “Huhhh!!! Mien Hessels! Putriku yang cantik seperti bidadari, kini berubah menjadi perempuan mirip tukang sihir, buruk  dan kotor..” Sadar ia melamun,buru-buru Soekarno memberi salam kepada mantan kekasihnya di Surabaya dulu. Setelah itu, ia segera berpamit untuk berlalu.
Sejurus kemudian, ketika sampai di rumah, ia menyempatkan mengenang pertemuannya kepada Mien Hessels dulu. Tanpa sadar, Bung Karno mendesiskan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Penyanyang. Hati kecilnya berucap, “Caci maki yang telah dilontarkan ayahnya dulu, sesungguhnya suatu rahmat yang tersembunyi...”


0 Comments:

DI BALIK PERPECAHAN SOEKARNO-HATTA

October 30, 2017 0 Comments


Mundurnya Mohammad Hatta  dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956 adalah sebuah antiklimaks bagi keagungan “dwitunggal” Soekarno-Hatta. Menelisik perbedaa pendapat antar keduanya, adalah sebuah telaah sejarah politik yang sungguh menarik dan tak berkesudahan.
Akan tetapi, mendudukkan keduanya dalam dua kursi terpisah, juga tidak terlalu pas. Apalagi jika kursi itu digambarkan sebagai beradu punggung. Setali tiga uang, menyamakan perpecahan Bung Karno dan Bung Hatta seperti pecahnya Presiden-Wapres Gus Dur-Mega dan SBY-JK, juga tidak benar.
Jika ada perbedaan prinsip antar keduanya, cukup berhenti pada tataran perbedaan pendapat antarnegarawan. Perbedaan Soekarno-Hatta, berhenti pada diri Soekarno-Hatta. Soekarno tidak pernah melibatkan rakyat untuk berdiri di belakangnya dan menentang Hatta. Sebaliknya, Hatta tidak pernah melakukan provokasi rakyat untuk bersama-sama menentang Soekarno.
Karenanya, kita menjadi paham jika sebelum dwitunggal pecah maupun setelah setelah dwitunggal pecah, rakyat Indonesia tetap mencintai Bung Karno rakyat pun tetap mencintai Bung Hatta. Cinta bangsa kepada dwitunggal, sama besarnya.
Demikian pula kecintaan Bung Karno dan Bung Hatta kepada rakyat. Selain itu, perbedaan pandangan politik keduanya berhenti pada tataran perbedaan pandangan yang sama sekali tidak membunuh keintiman batin keduanya. Sejarah juga mencatat, perbedaan keduanya bukan hanya kali yang pertama. Era pra-kemerdekaan, keduanya juga pernah berbeda paham, bahkan sempat memecah keduanya dalam kubu PNI (Hatta) dan Partindo (Soekarno),
Itu artinya, manakala pasca kemerdekaan keduanya kembali terlibat perbedaan cara pandang, bukan hal aneh. Apalagi jika ditilik dari latar belakang pendidikan. Soeakrno adalah “tukang insinyur” lulusan THS Bandung, sedangkan Hatta adalah didikan University of Rotterdam untuk bidang  studi ekonomi dan politik ekonomi. Artinya, ia lama bermukim di Belanda, sedangkan Soekarno tak pernah jauh dari rakyatnya.
Sementara itu, manusia Soekarno dan manusia Hatta tetap menjalin hubungan batin yang tulus. Keduanya saling menolong bila salah satu memerlukannya. Keduanya tetap saling bertemu, keakraban hubungan keduanya tetap terjalin. Seperti contoh, tahun 60-an, sewaktu Bung Karno mendengar bahwa Bung Hatta sakit, Bung Karno segera datang menjenguknya. Tidak hanya itu, ia segera membantu agar secepatnya Bung hatta dapat segera berobat ke luar negeri.
Begitu pula ketika Bung Karno tergolek sakit. Ucapan semoga lekas sembuh serta iringan doa tulus Hatta ditujukan bagi Bung Karno, sahabatnya. Bahkan, Bung Hatta lah yang mewakili Bung Karno menjadi wali dalam pernikahan Guntur Sukarnoputra tahun 1968, sewaktu Bung Karno kritis dan berhalangan menghadiri akad nikah putra pertamanya.
Bahkan ketika Bung Hatta berkunjung ke Amerika Serikat dan mendapati Bung Karno diberondong cemooh dan hinaan, Bung Hatta tegas menukas, “Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya!
Keduanya sungguh teladan bagi bangsa ini. Dengan tegar mereka saling mengkritik dan menghantam sikap atau pandangan pihak lain yang  yang dianggap tidak benar. Sebaliknya, keduanya akan saling menghargai dan mengakui dengan jujur kebenaran pihak lain yang menurutnya dianggap benar dan di atas semua itu, sejatinya, di dalam diri Bung Karno dan Bung hatta tidak sedebu kuku pun tersimpan noda permusuhan.

Keduanya gigih mempertahankan dan memperjuangkan pendiriannya, namun tetap manusiawi dalam melaksanakan hidup serta tetap berhubungan satu sama lain. Sejatinya, merekalah DWI-TUNGGAL INDONESIA dan satu-satunya DWITUNGGAL NEGERI INI.

0 Comments:

KISAH NAMA KUSNO MENJADI KARNO

October 29, 2017 0 Comments





Bung Karno terlahir dengan nama Kusno. Sejak kecil hingga usia belasan tahun, Kusno selalu sakit-sakitan. Yang terparah adalah saat ia berumur sebelas tahun. Sakit thypus menyerangnya dengan hebat. Bahkan kerabat dan handai taulan menyangka. Kusno berada di ambang pintu sekarat.
Dalam kondisi seperti itu, ayahandanya, Sukemi Sosrodihardjo mendorong semangat Kusno untuk bertahan. Selama dua setengah bulan Kusno tak bangun dari tempat tidurnya dan selama itu pula, ayahnya setiap malam tidur di bawah tempat tidur Kusno. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab di alas tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat berada di bawah bilah-bilah bambu tidur Kusno. Yang dilakukan sang ayah adalah memberinya kekuatan spiritual bagi kesembuhan putra tersayang.
Memang, riwayat penyakit Kusno kecil berderet panjang. Ia tercatat pernah mengidap malaria, disentri, pokoknya semua penyakit dan setiap penyakit. Hingga akhirnya, Sukemi menyimpulkan, nama Kusno tidak cocok, karenanya harus diganti agar tidak sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, mengganti nama seorang anak adalah hal biasa.
Raden Sukemi, ayahanda Kusno adalah penggandrung Mahabharata, sebuah epik Hindu zaman dulu. Tak heran bila suatu hari Sukemi berkata kepada Kusno, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”
Kusno menyambut kegirangan, “kalau begitu, tentu karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar.”
“Oh, ya, Nak,” jawab Sukemi setuju, “juga setia pada kawan-kawan dan keyakinannya dengan tidak memedulikan akibatnya. Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.” Nama lengkap Karna dalam dunia pewayangan adalah Adipati Karna.
Sambil memegang bahu, serta memandang jauh ke dalam mata Kusno, berkatalah sang Ayah, “Aku selalu berdoa, agar engkau pun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua.”
Nama Karna dan Karno sama saja. dalam bahasa Jawa, huruf “A” menjadi “O”. Sedangkan awalan “Su” pada kebanyakan nama orang Jawa, berarti baik, paling baik. Jadi, Soekarno berarti pahlawan yang paling baik. Begitulah nama Kusno telah berganti menjadi karno.....Sukarno.
Namanya satu kata saja: SUKARNO. Maka, ketika ada wartawan asing menuliskan nama Ahamd di depan kata Soekarno, Bung Karno menyebut wartawan itu sebagai goblok.

Ia juga menjelaskan ihwal ejaan “OE”. Waktu ia sekolah di zaman Belanda, untuk kata “U” memang ditulis “OE”. Tak urung tanda tangan Bung Karno pun menggunakan “OE”. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka, Bung Karno lah sebagai Presiden yang menginstruksikan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”. Ejaan nama Soekarno pun menjadi Sukarno. “Tetapi, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun, jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S-O-E,” ujar Bung Karno, menjelaskan ihwal ejaan namanya yang benar adalah SUKARNO dengan tanda tangannya yang masih menggunakan ejaan SOEKARNO karena kebiasaan.

0 Comments:

KELAHIRAN BUNG KARNO, DISAMBUT LETUSAN GUNUNG KELUD

October 29, 2017 0 Comments



Bayi Soekarno lahir menjelang matahari merekah. Karenanya, dia disebut pula sebagai Putra Sang Fajar. Orang Jawa memiliki kepercayaan, seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Terlebih, Bung Karno yang dilahirkan tahun 1901 (tanggal 6 Juni) terbilang putra perintis abad. Ya, abad ke-19, sebuah peradaban gelap yang masih menyelimuti bangsa kita dan sebagian besar belahan bumi lainnya oleh aksi imperialisme yang merajalela.
Kelahiran putra sang fajar, diyakini setidaknya oleh Ida Ayu Nyoman Rai, sang ibunda bakal menjadi penerang bagi bangsanya. Letusan Gununng Kelud yang terjadi kala Soekarno lahir, makin menguatkan pertanda alam menyambut kehadirannya di atas jagat raya. Benar, gunung berapi yang puncaknya di atas ketinggian 1.731 di atas permukaan air lauut, tiba-tiba saja bergolak setelah sekian lama tidak menunjukkan aktivitas vulkanik yang berarti.
Begitulah alam memberi tanda bagi lahirnya sang jabang bayi putra pasangan Raden Sukemi Sostrodihardjo dan Ida ayu ini. Siapa sangka, bayi merah yang dilahirkan bukan oleh dukun beranak, melainkan oleh seorang kakek yang masih kerabat ayahandanya itu, kelak akan berjuluk Pemimpin Besar Revolusi, Panglima tertinggi, Paduka Yang Mulia Presiden RI yang pertama.
Dialah sang proklamator, yang membawa bangsa ini memasuki pintu gerbang kemerdekaan, setelah lebih 3,5 abad dijajah Belanda dan 3,5 tahun dinista jepang dengan bengisnya. Atas takdir yang disandang, Bung Karno sendiri menyimpan sebuah “restu” Ibunda, sejak usia balita.
Ihwal itu dikisahkan, suatu shubuh menjelang matahari menyingsing, ibunda Soekarno bangun dan duduk di beranda rumahnya yang kecil, menghadap ke arah Timur. Udara pagi masih menggigit, embun pagi menyelimuti rerumputan dan dedaunan. Soekarno yang juga terbangun, kontan bisa melihat ibundanya duduk terpekur, diam tak bergerak menyongsong matahari pagi. Demi melihat ibunda di beranda seorang diri, Soekarno kecil mengayun langkah gontai menghampirinya.
Sang Idayu, demi melihat anaknya mendekat, diulurkannya kedua tangan dan direngkuhnya Soekarno kecil ke dalam pelukannya. Nah, di saat itulah ibunda Idayu melepas kata dengan nada lembut, “Engkau sedang memandang fajar, Nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar menyingsing. Orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jagan sekali-kali kau lupakan, nak bahwa engkau ini putra dari sang fajar.”
Tutur lembut sang ibu, dimaknai Bung Karno sebagai sebuah restu yang mengalir bersama darah Soekarno sepanjang hayat dikandung badan. Bagaimana dengan makna angka yang serba enam yang mengiringi kelahirannya? Ya, Soekarno lahir pada tanggal enam bulan enam. Angka enam adalah melambangkan sifat Asteroid yakni rajin, pandai dan tanggap. Dalam pengertian talenta, angka 6 termasuk dalam kelompok talenta seni, bersama angka 3 dan 9. Kita tahu, dunia tahu Soekarno adalah seorang seniman.
Secara zodiak, ia berbintang Gemini. Gemini adalah sombol kecerdasan, memiliki banyak akal. Komunikasi dan bahasa sangat penting bagi mereka. Mereka memiliki kemampuan berkembang dan belajar yang tinggi. Gemini tidak menyukai rutinitas. Pengetahuan, pikiran yang cepat dan kepandaian jelas terlihat pada zodiak ini. Sombol ini memiliki pesona alami dan energi kharisma. Gemini dikenal dengan spontanitasya da kemampuan mereka berbicara mengenai segala hal. Mereka energik dan murah hati.
Gemini akan menggunakan kemampuan berkomunikasi mereka untuk merayu orang yang mereka sukai. Gemini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Gemini menyukai perubahan, mereka senantiasa mencari sesuatu yang lain, termasuk juga kekasih. Itu adalah sederet sifat-sifat Gemini yang lazim.
Selain itu gemini juga dilambangkan dengan “si kembar” yang mengalirkan dua watak berlainan. Demikianlah Soekarno. Ia bisa lunak dan bisa sangat cerewet. Bisa keras laksana baja, bisa lembut berirama. Ia meringkus musuh negara dan menjebloskannya ke balik jerajak besi, tetapi tak tega melihat sekor burung terkurung dalam sangkat. Ia memerintahkan prajurit membunuh musuh, tetapi tak tega menepuk nyamuk yang menggigit lengannya.
Dialah Soekarno, lahir dari seorang ibu kelahiran Bali berkasta Brahmana, Idayu, keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir, adalah paman ibundanya. Sedangkan ayah yang mengukir jiwa raga Bung Karno, berasal dari ningrat Jawa bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dia masih keturunan Sultan Kediri.
Sekelumit kisah ini, adalah persembahan pada hari 6 Juni 2009, sebagai wujud hormat kepada Putra Sang Fajar.


0 Comments:

MEMOAR PEMBANTU PRESIDEN SOEKARNO BERNAMA OEI TJOE TAT

October 28, 2017 0 Comments


Bangsa ini tidak boleh melupakan seorang Tionghoa bernama Oei Tjoe Tat. Pria kelahiran Solo 26 April 1922 ini adalah salah seorang pembantu Presiden Soekarno dalam jabatan Menteri Negara Diperbantukan Presidium Kabinet Kerja periode 1963-1966. Sebagai pemuda terdidik, Oei Tjoe Tat memiliki suatu idealisme yang membanggakan. Dia menginginkan Indonesia yang pluralistik, yang tidak membeda-bedakan warga negaranya berdasarkan asal-usul, agama, rasial, budaya dan pandangan politiknya.
Untuk memegang idealismenya, Oei Tjoe Tat harus mengalami perjalanan hidup yang berliku. Baik semasa menjadi pengacara ataupun dalam kegiatan selanjutnya, ia mengalami pasang-surut yang tidak mudah guna mewujudkan impiannya tadi.
Sarjana Hukum lulusan Recht Hogeschool (RH) (1940-1942) dan Universiteit van Indonesie, Faculteit der Rechtgeleerdheid & van Sociale Wetenchappen di Jakarta ini, memuncaki kariernya sebagai seorang menteri, pembantu Presiden Soekarno.
Bisa jadi, kekentalan jiwa dan spirit nasionalisme serta pluralisme itu makin terpuruk saat ia menjalani “wawancara khusus” di Istana Bogor sebelum resmi menjadi menteri. Ia menceritakan betapa Bung Karno bisa sangat misterius bahkan cenderung menakutkan. Seperti pertanyaan pertama yang Bung Karno sampaikan kepada Oei Tjoe tat, “Mengapa Mr. Oei datang ke sini?
Oei menjelaskan semua alasan, mulai dari telepon paasukan Cakrabirawa yang memintanya menghadap Bung Karno di Istana Bogor, sampai keresahan dan rasa penasarannya yang begitu tinggi karena ia tidak diberi tahu duduk soal mengapa dipanggil ke Istana bogor. Sejumlah pentolan organisasi politik dan tokoh masyarakat yang dekat dengan Bung Karno, tidak satu pun mengetahui ihwal pemanggilan Oei oleh Bung Karno.
“Saya panggil Mr. Oei untuk diangkat menjadi Menteri yang akan membantu presiden dan presidium (Dr. Subandrio, Dr. Leimena dan Chaerul Saleh). Bagaimana?” Oei Tjoe tat menjawab polos, “Mengagetkan, tak pernah saya impikan dan inginkan.”
Rupanya Bung Karno tidak berkenan dengan jawaban itu, sehingga memberondong Oei dengan pertanyaan yang bertujuan menguji loyalitasnya sebagai kader Partindo, ketaatannya kepada Presiden Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi dan sebagainya dan sebagainya.
Tak kuasa menolak tanggung jawab yang dibebankan negara di pundaknya, Oei Tjoe tat akhirnya menerima pengangkatan dirinya menjadi seorang menteri. Apalagi setelah Bung Karno dengan suara berat berkata, “Sayalah yang menentukan kapan Bangsa, Negara dan Revolusi memerlukan Saudara, buka Saudara sendiri.”
Terakhir, Oei Tjoe Tat kembali bikin “perkara” dengan Bung Karno, ketika ia melontarkan pertanyaan, “Apakah nanti sebagai Menteri Republik Indonesia saya sebaiknya mengganti nama dan apakah presiden berkenan memilihkan nama baru saya?” rupanya, Oei tidak percaya diri menyandang nama Tionghoa menjadi nama resminya sebagai seorang menteri negara.
Namun, apa yang terjadi? Muka Bung Karno sontak merah, kemudian berkata meledak-ledak. “Wat? Je bent toch een Oosterling? Apa? Kamu kan orang Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat pada ayahmu, yang memberi kamu nama itu?”
“Disemprot” begitu Oei Tjoe Tat kaget bukan kepalang. Jawaban Bung Karno ditangkap jelas oleh Oei Tjoe tat, bahwa Presiden Soekarno bukanlah seorang rasialis. Bukannya menerima permintaan Oei untuk memberinya nama baru, tetapi malah memarahi. Oei sadar, ia harus tetap memakai nama pemberian orang tuanya. Ia harus bangga dengan nama itu.
Sepulang dari Bogor dan menceritakan pertemuannya dengan Bung Karno, istrinya hanya melongo. Benar seperti kata Oei Tjoe Tat di atas, bahwa ia sama sekali tidak pernah bermimpi menjadi seorang menteri. Ia bahkan tidak ingin menjadi seorang menteri. Bahwa kemudian Bung Karno mengangkatnya sebagai menteri, disadarinya sebagai sebuah tugas negara yang harus dipikul dengan penuh rasa tanggung jawab sebagai anak bangsa.
Di sisi lain, mendengar cerita itu, para pengurus Partindo dan Baperki (dua organisasi tempat Oei Tjoe Tat berkiprah), merasa puas dan bangga. Partindo dan Baperki merasa memiliki wakil di kabinet. Terlebih dalam catatan karier Oei Tjoe Tat selanjutnya, banyak catatan prestasi yang telah ia torehkan.
Begitulah sekelumit buku Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, terbitan Hasta Mitra. Naskah memoar Oei, disunting oleh sastrawan handal, Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo.



0 Comments:

PANCASILA, IDEOLOGI KELAS DUNIA

October 28, 2017 0 Comments


Memprihatinkan, bahwa sebagai ideologi, Pancasila makin pudar dari waktu ke waktu. Pancasila sedang dalam proses kemunduran yang dahsyat. Padahal, Pancasila lahir dari sebuah kontemplasi yang mendalam dari seorang Soekarno muda. Pancasila adalah Beginsel atau Dasar Negara. Sebuah Demokratisch Beginsel, yang menjadi Rechtsideologie Negara kita.
Sebagai ideologi, Pancasila telah mengalami pasang surut. Dia mencapai posisi puncak pada 30 September 1960, bersamaan dengan pidato Presiden Soekarno di depan Sidang Umum PBB ke-15. Naskah pidato Bung Karno begitu termasyhur dengan judul megah: “To Build the world Anew”, membangun tatanan dunia yang baru berdasarkan pancasila.
Dalam kesempatan itu, dengan sangat fasihnya, Bung Karno mengupas satu demi satu Pancasila dan penafsiran serta pemaknaannya. Ia juga dengan bangga mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi alternatif. Pidato Bung Karno telah memukau para pemimpin dunia dan Pancasila yang dirangkai dari butir-butir manikam warisan  bangsa Nusantara, telah ke dalam sanubari para pemimpin dunia, khususnya negara-negara yang baru merdeka.
Ada baiknya, setia memperingati Kelahiran Pancasila 1 Juni, kita tidak hanya menengok sejarah lahirnya Pancasila atau menyoal tentang makin tipisnya pemahaman generasi muda terhadap makna ideologi Pancasila. Mari kita meluangkan waktu sejenak, baca kembali pidato lahirnya Pancasila yang diucapkan Bung Karno. Kita resapi dan kita sebarkan sebagai bagian dari upaya melestarikan ideologi bangsa.
Tanggal 1 Juni yang ditetapkan sebagai tanggal lahirnya Pancasila, diambil dari momentum Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 da sidang kedua dari tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan 17 Juli 1945. Bung Karno sendiri mengemukakan butir-butir Pancasila pada pidato 1 Juni yang tanpa teks tertulis, karenanya disebut “stenografisch verslag”.
Bung Karno dalam pidato di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang dipimpin Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagao Kaitjoo (Ketua), mengemukakan ihwal Philosofische grondslag, fundamen atau falsafah Indonesia merdeka dan sebelum Bung Karno memaparkan dasar negara, ia minta izin untuk menekankan arti kata “merdeka” kepada anggota sidang, termasuk di bawah pengawasan para pejabat Jepang.
Kemudian Bung Karno menunjukkan penguasaannya yang dalam mengenai sejarah dunia. Ia kutip dari buku Amstrong tentang pembentukan negara Saudi Arabia oleh Ibn Saud. Pada saat Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil itu perlu minum bensin. Karenanya, pada suatu kesempatan, orang-orang Badui mengisi tangki otomobil Ibn Saud dengan gandum!
Bung Karno juga mengangkat contoh Lenin saat mendirikan Soviet Rusia. Saat Negara Soviet didirikan, rakyat Musyrik lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis. Tapi toh Ibn Saud memerdekakan Saudi Arabia. Lenin memerdekakan Soviet Rusia.
Karenanya, seperti telah Bung Karno kemukakan dalam “Mencapai Indonesia Merdeka”, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. “Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.”
Sebagai dasar negara, Bung karno mengangkat sejumlah contoh. Di antaranya karya Dr. Sun Yat Sen yang berjudul San Min Chu I atau The Three People’s Principle. Tiga pilar itulah yang mendasari dasar negara Tiongkok: Mintsu, Minchuan, Min Sheng, yakni Nasionalisme, demokrasi, sosialisme. Bung Karno juga mengangkat contoh Hitler yang meletakkan dasar Naziisme, Lenin dengan Generale Repetitie revolusi tahun 1917, Ibn Saud dengan Islam dan lain-lain.
Pada puncak pidatonya, Bung Karno merumuskan kelima sila menjadi:
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau perikemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ketuhanan).
Kelima sila itulah yang kemudian disusun menjadi lima sila yang kita kenal sekarang.

Tentang bilangan lima atau panca, Bung Karno menguraikannya tersendiri. Katanya, “Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindra. Apa lagi yang lima bilangannya?”
Bertanya begitu, seorang menjawab lantang dari tengah-tengah hadirin: “Pandawalima!” Bung Karno menyahut, “ Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.”
Kalimat Bung Karno berikut adalah sebuah ringkasan dari lima dasar yang telah ia uraikan. Jika ia diminta memeras kelima dasar tadi menjadi tiga, maka Bung Karno menamakannya dengan:

Lima sila bisa diringkas menjadi trisila. Bagaimana seandainya diperas lagi menjadi satu sila? “Baiklah, saya kumpulkan menjadi satu. Apakah yang satu itu? Dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong.

0 Comments:

NYARIS DIBANTAI NICA, BUNG KARNO DISELAMATKAN TENTARA INDIA

October 27, 2017 0 Comments


Pasca proklamasi, suasana Ibukota dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan terasa kian genting. Keterpurukan Jepang dari Sekutu, serta belom adanya perintah menyerah dari Kaisar, membuat serdadu Jepang yang ada di Indonesia frustasi. Dalam situasi seperti itu, Sekutu kembali mendarat di Bumi Pertiwi, hendak mengoyak-ngoyak kemerdekaan yang sudah diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
Syahdan, sebelum Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya memutuskan hijrah ke Yogyakarta tahun 1946, sebelumnya telah dipicu oleh sebuah peristiwa upaya pembantaian terhadap Bung Karno oleh para tentara Sekutu gabungan di Jl. Kramat, Jakarta Pusat. Seperti pada serpihan sejarah yang lain, bahwa tekad Belanda setelah mendarat kembali ke bumi Indonesia dengan membonceng Sekutu, adalah  meringkus Bung Karno, hidup atau mati.

Peristiwa bermula ketika pada suatu hari, Bung Karno hendak mengunjungi dokter pribadinya, dr. R. Soeharto yang beralamat di Jl. Kramat 128, jakarta Pusat. Apa lacur, ketika hendak mencapai tujuan, sekelompok tentara Sekutu mencegat mobil Oldsmobile yang membawa Bung Karno. Mereka langsung mengepung dan mengarahkan senapan berbayonet ke arah mobil Soekarno. Senapan itu telah dikokang sebelumnya. Itu berarti, peluru setiap saat bisa dimuntahkan guna membinasakan proklamator kita.
Peristiwa itu, sontak menggegerkan masyarakat di sekitar Kramat yang melihatnya. Kabar tersebar begitu cepat, laksana tertiup angin. Salah satu menerima kabar adalah Tabib Sher seorang tabib asal asal India yang membuka praktik di Jl. Senen Raya, tak jauh dari Jl. Kramat Raya. Kebetulan, saat kabar diterima oleh dia, di situ tengah berkumpul para serdadu Sekutu yang beretnis India muslim.
Tabib Sher yang memang pro-kemerdekaan Indoneai dan juga pendukung Soekarno, kontan mengajak para serdadu Sekutu India Muslim dan sejumlah pejuang, menuju TKP. Moral ajakan Tabib Sher cukup jelas, yakni meminta bantuan para serdadu Sekutu keturunan India muslim, untuk mencegah rekan tentara Sekutu yang sedang mengancam nyawa Soekarno.
Maka yang terjadi adalah sebuah pemandangan sengit, ketika tentara Sekutu India Muslim menodongkan senapannya ke arah rekan tentara Sekutu gabungan Inggris dan Belanda. Tentara Sekutu Belanda dan Inggris diperintahkan meletakkan senapan dan mengangkat tangan. Perang mulut tak terhindarkan di antara sesama pasukan Sekutu tetapi beda kewarganegaraan. Sekutu Belanda-Inggris semula bersikukuh hendak menghabisi, setidaknya merangsek, menangkap Bung Karno sebagai “musuh nomor satu”.
Akan tetapi, tentara Sekutu etnis India Muslim mengokang senapan dan siap berbaku tembak. Ciut nyali serdadu Belanda-Inggris, dan  mereka mundur teratur  sambil melontarkan sumpah serapah. Mundurnya tentara Sekutu Belanda-Inggris tadi, diikuti gerakan serdadu Muslim dengan tetap menodongkan senapannya agar menjauh...makin jauh...makin jauh dari posisi mobil berisi Bung Karno.

Dr. Soeharto yang menyaksikan dari depan rumahnya, segera menghambur menjemput Soekarno dari dalam mobil, manakala dilihat tentara Nica mundur teratur. Bung Karno segera keluar mobil dan menuju rumah dr. Soeharto yang tak jauh dari lokasi kejadian. Setelah situasi mereda, diketahuilah, bahwa tentara-tentara Nica yang jengkel dan kecewa karena digagalkan merengsek Soekarno, melampiaskan amarahnya pada mobil Bung karno. Kaca dipecah, ban ditusuk bayonet, body dibuat penyok dan amukan-amukan lain tertuju pada mobil tak berdosa.
Adalah Tabib Sher pula yang kemudian menderek mobil Bung Karno yang dirusak tentara Sekutu Belanda-Inggris tadi, memperbaikinya dan menyerahkan kembali kepada Bung Karno melalui dr. Darmasetiawan yang waktu itu menjabat Sekjen kementerian Penerangan dan berkantor di Jl. Cilacap, Menteng, Jakarta Pusat. Begitulah seorang tabib berkebangsaan India yang dengan berani bersikap mendukung Indonesia merdeka. Mendukung Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Sementara itu, mobil yang dirusak diperbaiki atas tanggungan Tabib Sher dan saat mobil diperbaiki, Bung Karno sendiri dikabarkan sudah berada di Yogyakarta. Benar, Bung Karno beserta keluarga dan sejumlah pengikut maupun elite negeri hijrah ke Yogyakarta naik kereta api luar biasa. Tak lama sesampai di yogya, dimaklumatkan bahwa ibukota pemerintahan Republik Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Jakarta benar-benar sudah tidak aman buat Bung Karno dan para pejabat negara.
Contoh kasus seperti Bung Karno diadang tentara Sekutu, bisa terjadi terhadap pejabat mana pun. Sebab, dalam praktik memupus proklamasi, mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak nalar. Mereka menangkap orang sembarangan, menembak orng serampangan, menahan orang dengan ngawur, bahkan menggeledah rumah orang semau-mau mereka. Setiap hari pasti terjadi insiden di jalanan ibukota. Tentara Sekutu menggeledah penumpang bus, menahan orang di pasar, menembak orang yang sedang berjalan kaki dan berbagai insiden lain yang semua itu bertujuan mengendorkan spirit rakyat yang tengah dilanda euforia kemerdekaan.




0 Comments:

PIDATO TERAKHIR BUNG KARNO

October 27, 2017 0 Comments


Ihwal 17 Agustus 1966 merupakan pidato terakhir Bung Karno, dalam pengertian pidato kenegaraan yang begitu dinanti rakyat Indonesia setiap 17 Agustus. Sudah menjadi rutinitas, bahwa pada peringatan proklamasi kemerdekaan, Bung Karno menyiapkan materi pidato secara khusus.
Materi pidato 17 Agustus acap kali dibuat di Istana Tampaksiring, Bali. Ia bisa beberapa hari di sana tanpa mau diganggu, hanya untuk menyiapkan materi pidato 17 Agustus. Semua buku dan referensi dibawa serta. Tidaklah heran jika rakyat Indonesia mendapat sajian pidato kenegaraan yang begitu berbobot. Pidato yang mampu menyihir siapa pun yang mendengar, baik langsung maupun sekadar berjubel-jubel di depan radio transistor.
Sejarah telah mencatat, pada 17 Agustus 1967 dia sudah tidak lagi berkuasa, sehingga mulutnya terkunci dan dunia tak lagi mendengar spirit progeresif revolusioner dari seorang Putra Sang Fajar. Dunia tak lagi menyimak kecamannya atas hegemoni liberalisme dan kapitalisme. Itulah mengapa saya sebut, bahwa pidato kenegaraan 17 Agustus 1966 sebagai pidato terakhir Bung Karno
Ada banyak pidato setelah 17 Agustus 1966, tetapi nyaris sudah dinafikan sejarah. Pidato-pidato menuju antiklimaks, seperti Nakwasara dan Penjelasan Nawaksara, yang toh berujung pada pelengseran dirinya dari kursi kepresidenan, meski dilakukan dengan cara-cara yang kontroversi, baik menurut kacamata hukum ketatanegaraan, maupun menurut kacamata juridis formal.
Dalam buku ini, selain menafsir pidato yang sering disingkat orang dengan “Jas Merah” itu, saya juga melakukan riset kecil-kecilan terkait respons media massa pada zamannya. Beberapa kali saya masuk-keluar perpustakaan nasional, membolak-balik lembar demi lembar koran tua. Beberapa artikel dan berita, saya sertakan pada epilog buku agar pembaca maklum, bahwa tahun 1966, sejumlah media memang telah memosisikan Bung Karno pada satu sudut yang sulit. Ada semacam penggalangan opini yang begitu sistematis terkait peristiwa G-30-s/SPKI, sehingga Bung Karno “dipaksa” haus menerima status sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Di sini sebuah ironi tampak. Seorang Presiden yang hendak dikudeta, justru dituding “terlibat” (langsung atau tidak langsung) dengan kudeta itu sendiri. Nalar mana yang membenarkan seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri?
Terlebih ketika era berganti, zaman berubah, satu per satu serpihan sejarah mulai terkuak. Misal, ihwal keterlibatan CIA, ihwal keterlibatan mantan penguasa Orde Baru, Soeharto dan banyak serpihan sejarah lain yang terbeber menjadi semacam keping-keping puzzle yang bakal melengkapi akurasi sebuah peritiwa bersejarah. Cepat atau lambat, sejarah G-30-S itu paasti bakal tersusun menjadi sebuah bangunan atau bahkan sebuah situs sejarah.
Alhasil, “pesan terakhir” Bung Karno yang berjudul “Jangan sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, saya resapi sebagai sebuah seruan yang harus terus digaungkan sepanjang zaman. Bangsa yang melupakan sejarah, akan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri dan menjadi bangsa antah berantah.
Amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR RI periode 1999-2004 yang mengubah sistem tatanan negara dan sistem politik. Di bidang demokratisasi, paham demokrasi liberal (50+1 boleh membantai yang 49), telah mengakibatkan kita bukan lagi “Indonesia yang mengagungkan musyawarah gotong royong”.
Demokrasi Liberal, sama sekali bukan demokrasi Pancasila. Menerapkan demokrasi liberal sama artinya dengan mengkhianati realita sejarah sosial kemasyarakatan rakyat Inndoesia. Sejak diberlakukan amandemen yang sejatinya mengubah landasan konstitusi negara, maka kita terus berkutat pada masalah internal kebangsaan yang nyaris tak berkesudahan.
Bukan hanya itu. Di bidang ekonomi, perubahan pasal 33, mengakibatkan kita terjerumus pada ekonomi pasar bebas dalam keadaan kita masih teramat rapuh. Tidaklah heran jika sumber daya alam yang begitu melimpah, tak juga mampu mengangkat derajat dan kesejahteraan bangsa karena diekspoitasi oleh pihak asing dengan “restu” pemerintah yang berkuasa. Maka sejatinya, para komprador bangsa telah “menjual” Indonesia untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.




0 Comments:

BUNG KARNO MELAMAR RAHMI TENGAH MALAM

October 27, 2017 0 Comments


Di Palestina ada Yasser Arafat, di Indonesia ada Mohamad Hatta. Keduanya sama-sama “wadat”, berikrar tidak akan menikah sebelum negaranya merdeka. Karenanya, Bung Karno, dalam suatu kesempatan yang rileks pasca kemerdekaan, menanyakan tentang calon pasangan hidup. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, sudah merdeka. Kedua, usia Hatta tidak muda lagi, 43 tahun.
Hatta tidak menampik topik melepas masa lajang. Terlebih, Bung Karno pun menyatakan siap menjadi mak comblang, bahkan melamarkan gadis yang ditaksirnya. Ketika Bung Karno bertanya kepada Hatta ihwal gadis mana yang memikat hatinya, hatta menjawab, “Seorang gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Institut Pasteur Bandung. Dia begini, begitu tapi saya belum tahu namanya.”
Usut punya usut, selidik punya selidik, gadis Parahyangan yang ditaksir hatta adalah putri keluarga Rahim (Haji Abdul Rahim). Maka, ketika kira-kira sebelum setelah proklamasi Bung Karno berkunjung ke Bandung, ia sempatkan mampir ke rumah keluarga Rahim di Burgermeester Koops Weg atau yang sekarang dikenal sebagai Jl. Pajajaran No 11. Di sana, Bung Karno bertamu hampir tengah malam, pukul 23:00 sebuah jam bertamu yang sangat tidak lazim.
Meski sempat diingatkan ihwal jam yang menunjuk tengah malam, tapi Bung Karno tetap keukeuh bertamu malam itu juga. Ia berdalih, tidak menjadi soal, karena ia kenal baik dengan keluarga Rahim. Persahabatan lama yang telah terjalin sejak Bung Karno kulaih di THS (sekarang ITB) Bandung. Apa lacur, setiba di rumah keluarga Rahim, ia disambut dampraatan dari Ny. Rahim. Sebuah dampratan antar teman, mengingat Bung Karno datang bertamu tidak kenal waktu.
Untuk mereda dampratan tadi, dipeluklah Ny. Rahim dan diutarakanlah niatnya. Mendapat pelukan bersahabat dari Bung Karno, serta tutur kata lembut dari sang tamu tengah malam, luluhlah hati Ny Rahim dan membiarkan Bung Karno dan rombongan kecilnya masuk dan duduk di ruang tamu.
“Saya datang untuk melamar,” kata Bung Karno. Nada bicaranya pelan, tetapi sangat serius dan atas pernyataan Bung Karno, Tuan dan Ny. Rahim bertanya serempak, “Melamar siapa? Untuk siapa?” memang tidak terucap, tapi bukan tidak mungkin keduanya sempat berpikir Bung karno naksir salah satu putri mereka dan berniat mengambilnya menjadi istri kedua.
Sebelum suasana menjadi kikuk dan salah paham, Bung Karno tersenyum simpatik sekali dan segera menjawab, “Melamar Rahmi untuk Hatta.” Dan benar, begitu Bung Karno mengutarakan niatnya, melamar putri Rahim untuk Hatta sahabatnya yang juga Wakil Presiden, suasana di ruang tamu memang menjadi cair.


Dalam kisah lain diceritakan, Rahmi kemudian dipanggil orangtuanya, serta diutarakanlah maksud dan tujuan Bung Karno datang, yakni melamarnya menjadi istri Hatta. Disebutkan, adik Rahmi, yang bernama Titi, sempat mmemengaruhi Rahmi supaya menolak lamaran Bung Karno, dengan alasan, Hatta jauh lebih tua dari Rahmi. Sampai pada titik ini, Rahmi dikabarkan sempat bimbang. Ragu antara mau dan tidak mau.
Namun, berkat “rayuan” Bung Karno pula akhirnya Rahmi menerima pinangan tadi. Dengan pilihan kalimat yang bijak, dengan pendekatan personal, Bung Karno meminta Rahmi melihat Fatmawati yang juga berbeda usia cukup jauh dengan Bung karno, tetapi toh mereka bahagia. Bahwa kebahagiaan tidak bisa diukur dari perbedaan usia antara suami dan istri. Panjang lebar Bung Karno meyakinkan Rahmi agar bersedia menerima cinta Hatta.

Akhirnya hati Rahmi menjadi luluh dan bersedia mengabdi menjadi istri yang setia bagi Mohammad Hatta. Meski dari dimensi religi, jelas jodoh mutlak ada di tangan Tuhan. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menentukan takdir jodoh seseorang. Itu artinya, Bung Karno hanyalah perantara, namun bersandingnya Hatta dan Rahmi sebagai suami-istri mutlak karena takdir Tuhan Yang Mahakuasa.
Alkisah, Hatta dan Rahmi resmi menikah di Megamendung pada 18 November 1945. Pernikahan mereka hanya disaksikan keluarga besar Rahim, keluarga besar Bung Karno dan Fatmawati. Sebuah pernikahan yang sederhana untuk ukuran seorang Wakil Presiden dan putri keluarga Rahim yang terpandang di kota kembang.



Dari pernikahan itu, lahirlah putri pertama mereka, Meutia Farida yang lahir di Yogyakarta 21 Maret 1947. Nama Meutia datang dari neneknya yang asli Aceh. Sedangkan Farida diambil dari nama permaisuri Raja Farouk dari Mesir yang cantik jelita. Setelah itu, disusul kelahiran putri keduanya, Gemala dan putri ketiga Halida Nuriah.

0 Comments:

BUNG KARNO VS EISENHOWER

October 27, 2017 0 Comments


Sikap Bung Karno yang tegas dalam politik luar negeri, membuat AS tidak nyaman. Karena itu pula, dalam sejarah perjalanan bangsa di bawah kepemimpinan Bung Karno, hubungan Indonesia dan AS bisa diilang tidak mesra. Pada dasarnya, Bung Karno sendiri anti kapitalisme-liberalisme, tetapi dia juga bukan seorang komunis. Soekarno hanyalah seorang nasionalis, bahkan ultra nasionalis.
Dalam hubungan disharmonis antara Indonesia-Amerika Serikat, tergambar dalam ketegangan hubungan antara Presiden Soekarno dan Presiden Dwight D. Eisenhower (1953-1961). Suatu hari di tahun 1960, Bung Karno diundang ke Wasington. Tapi apa yang terjadi? Sesampai di Washinngton, Eisenhower tidak menyambutnya di lapangan terbang. Bung Karno Cuma membatin, “Baiklah.” Bahkan ketika Bung Karno samapi di gedung putih, Einsenhower pun tidak menampakkan batang hidungnya. Untuk itu pun, Bung Karno masih membatin, “Baiklah.”
Akan tetapi, ketika Eisenhower membuat Bung karno menunggu di luar, di ruang tunggu, menanti dalam waktu yang tak pasti, hati Bung Karno terbakar “keterlaluan” gumam Bung Karno, geram. Tapi  toh Bung Karno, sebagai tamu negara, Negara Adi Kuasa, masih bisa bersabar. Meski amarah membuncah, tetapi emosi tetap terkendali.

Menit terus bergulir, melampaui angka yang ke-60. Itu artinnya, sudah lebih satu jam Bung Karno menunggu di ruang tunggu, tanpa tahu kepastian kapan Presiden Eisenhower akan datang menemui tamunya. Habis sudah kesabaran Bung Karno. Ia bangkit dari duduk dan sendiri menghampiri kepala protokol dan berkata tajam, “Apakah saya haru menunggu lebih lama lagi? Oleh karena, kalau harus begitu, saya akan pergi sekarang juga!”
Kepala bagian protokol Gedung Putih itu pucat dan memohon Bung Karno menahan barang satu-dua menit. Sejurus kemudia, keluarlah Eisenhower. Apakah itu melegakan hati Bung Karno? Tidak sepenuhnya.
Bung Karno masih kecewa. Rasa kecewa itu makin dalam, ketika Eisenhower sama sekali tidak meminta maaf. Bahkan ketika mengiringkan Bung Karno masuk ke ruang utama Gedung Putih, tidak ada juga kata maaf dari Eisenhower kepada tamu negara dari RI, Soekarno yang sedang memendam perasaan dongkol.
Itu kali pertama Bung Karno merasakan “dihina” Presiden Eisenhower. Rupanya tidak berhenti di situ. Ada peristiwa kedua yang dianggap Bung Karno merupakan penghinaan yang lain, yaitu ketika Eisenhower berkunjung ke Manila, Filipina dan dia menolak untuk bekunjung ke Indonesia. “Boleh dikata dia sudah berada di tepi pagar rumahku, dia menolak mengunjungi Indonesia,” ujar Bung Karno, seperti dituturkan kepada Cindy Adams.
Karenanya, Eisenhower bukan “sahabat” yang baik di mata Soekarno. Dalam penuturan di otobiografinya, Bung Karno pun secara tersirat dan tersurat menampakkan hubungan yang tidak harmonis, antara dirinya dan Eisenhower. Contoh kecil, manakala pembicaraan politik dan hubungan bilateral kedua negara dirasa tidak produktif, keduanya justru ngobrol tentang film dan aktor-aktris kesayangan masing-masing. Sebuah indikasi yang jelas, keduanya memang “tidak nyambung”. Keduanya berada pada kutub yang berbeda dalam banyak hal.
Dalam dua kali kunjungan Bung Karno ke Amerika di era Eisenhower. Yang tampak memang sebuah ketimpangan. Bung Karno menawarkan persahabatan, tetapi Amerika menjabatnya separuh niat. Ketika Bung Karno melanjutkan lawatan ke Blok Timur, pers Amerika langsung menuding, “Lihat, Bung Karno mendekati negara komunis!”

Sejarah juga mencatat, di bawah kepemimpinan Eisenhower, dengan Menlu dan Direktur CIA dua “Dulles” kakak-beradik, kebijakan Amerika Serikat kepada Indonesia memang terasa timpang. Indonesia dicap sebagai sebuah negara yang condong ke komunis. Stigma itu diperkuat oleh laporan Direktur CIA, Allen Welsh Dulles dan Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles kepada Eisenhower. Dua petinggi Amerika kakak-beradik itu pula yang secara langsung paling bertanggung jawab atas dukungan terhadap aksi pemberontakan di tanah Air. Atas kebijakan kedua Dulles itu pula, Amerika Serikat mendukung aksi makar PRRI/Permesta dan berbagai aksi pemberontakan di Tanah Air dengan tujuan menggulingkan Soekarno.

Bung Karno tahu betul taktik licik Amerika Serikat. Terlebih setelah penerbangan CIA, Allen Pope berhasil ditembak jatuh. Dialah penerbang Amerika yang ikut menyerang sejumlah instalasi vital di Tanah Air. Pope adalah warga negara Amerika, menerbangkan pesawat tempur Amerika, berangkat dari pangkalan militer Amerika di Filipina, dengan tujuan membantu PRRI/Permesta.

0 Comments: