ABU RAIHAN AL-BIRUNI (Pakar Ilmu Fisika)

October 13, 2017 0 Comments


Nama Al-Biruni tidak asing lagi di pentas illmu sains pada Abad Pertengahan. Dunia sains mengenalnya sebagai salah seorang putra Islam terbaik dalam bidang filsafat, astronomi, kedokteran dan fisika. Wawasan dan pengetahuannya yang sedemikian luas ternyata menempatkan dirinya sebagai pakar dan ilmuwan muslim tersohor pada awal Abad Pertengahan.
Nama lengkap Al-Biruni adalah Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni. Ia dilahirkan pada September 973 M di perkampungan Khawarizm, Turkmenistan. Kemudian, ia lebih dikenal dengan nama Al-Biruni. Istilah Al-Biruni berarti asing, yang dinisbatkan pada tempat kelahirannya, yaitu Turkmenistan. Pada masa itu, kawasan ini memang merupakan daerah khusus untuk orang-orang asing.
Al-Biruni dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Ia menghabiskan usia mudanya untuk menggeluti berbagai bidang ilmu pengetahuan. Walaupun tidak banyak catatan sejarah yang mengisahkan latar belakang pendidikannya, namun beberapa sumber menyebutkan bahwa ilmuwan ulung ini memperoleh pendidikan dari beberapa ulama kenamaan pada zamannya, di antaranya ialah Syekh Abdus Shamad.
Dalam bidang kekdokteran, Al-Biruni belajar kepada Syekh Abdul Wafa’ al Buzayani dan di bidang matematika dan astronomi, Al-Biruni belajar kepada Syekh Abu Nasr Mansur bin Ali bin Iraq. Maka, tidaklah mengherankan apabila Al-Biruni terkenal sebagai seorang ahli dalam berbagai ilm semenjak usia muda.
Sebagai ilmuwan ulung, Al-Biruni tidak henti-hentinya mengais ilmu, termasuk dalam setiap penjelajahannya ke beberapa negeri, seperti Iran dan India. Jamil Ahmed dalam buku Seratus Tokoh Muslim mengungkapkan bahwa di antara penjelajahan paling menarik dari Al-Biruni adalah perjalanannya di wilayah Jurjan, dekat Laut Kaspia (Asia Tengah), serta wilayah India. Penjelajahan itu sebenarnya tidak menjadi maksud utama alias tidak disengaja.
Alkisah, setelah beberapa lama menetap di Jurjan,Al-Biruni memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Namun, tidak disangka, tanah kelahirannya dilanda oleh konflik antaretnik. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Sulltan Mahmoud al-Gezna, yang melakukan penaklukan ke wilayah Jurjan.
Penaklukan tersebut menyebabkan Al-Biruni dipilih oleh Sultan Mahmoud sebagai “kumpulan pemikir”, yang kemudian dibawa menyertai ekspedisi ketenteraan ke India. Di sana, ia banyak melahirkan karya dan tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel ilmiah yang disampaikannya dalam seminar. Selain menghasilkan karya, pejelajahan bersama sultan itu juga menjadikan India sebelah timur sebagai kawasan baru untuk menyebarkan dakwah Islamiah.
Sepanjang pengembaraannya di India, Al-Biruni memanfaatkan masa luang untuk melakukan kajian berkaitan adat istiadat dan budaya setempat. Berdasar kajiannya inilah, beberapa karya agungnya lahir. Buka itu saja, Al-Biruni juga sebagai orang pertama yang memperkenalkan permainan catur ala India ke negara-negara Islam, serta menjelaskan permasalahan trigonometri yang lebih mendalam dalam karyanya, Tahqiq al-Hind.
Kecerdikan Al-Biruni merangsang dirinya untuk mendalami ilmu astronomi. Ia pun turut menjelaskan tentang kemungkinan pergerakan bumi mengitari matahari. Malangnya, bukuya yang mengupas masalah ini menghilang. Namun, ia berpendapat bahwa sebagaimana yang pernah ia sampaikan dalam suratnya kepada Ibnu Sina, pergerakan eliptis lebih memungkinkan daripada gerak melingkar planet.
Al-Biruni konsisten mempertahankan pendapat itu dan ternyata di kemudian hari, pendapat ini terbukti kebenarannya, sebagaimana yang dibuktikan oleh ilmu astronomi modern.
Sebagai seorang yang gemar membaca berbagai bidang ilmu, kepakaran Al-Biruni tidak hanya dalam bidang sains. Ia juga mahir dalam ilmu filsafat. Ia pun terkenal sebagai salah seorang ahli filsafat Islam yang amat berpengaruh.
Pemikiran filsafat Al-Biruni banyak dipengaruhi oleh Al-Farabi, Al-Kindi dan Al-Mas’udi (yang meninggal pada tahun 956 M). Al-Biruni hidup sezaman dengan ahli filsafat dan pakar farmasi, Ibu Sina. Al-Biruni banyak berdialog dengan Ibnu Sina, baik secara langsung maupun melalui surat-menyurat. Keduanya kerap juga berdiskusi mengenai filsafat, misalnya Al-Biruni tidak sependapat dengan aliran pemikiran paripatetik yang dianut oleh Ibnu Sina dalam banyak aspek.
Al-Biruni memperlihatkan kecenderungan tidak menerima bulat-bulat filsafat Aristoteles dan ia berfikir secara kritikal terhadap beberapa hal dalam teori fisika paripatetik, seperti yang berkaitan dengan masalah gerak dan tempat. Semua yang dilakukannya selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam, serta meletakkan sains sebagai alat untuk menyingkap rahasia alam. Hasil kajian dan penelitiannya akhirnya bermuara pada pengakuan wujud Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta.
Menurut Al-Biruni, jika seorang ilmuwan ingin membedakan kebenaran dan kepalsuan, ia perlu menyelidiki dan mempelajari alam, dalam buku Al-Jamahir, Al-Biruni juga menegaskan, “Penglihatan adalah penghubung sesuatu yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya. Dari penciptaan alam tersebut, kita akan menemukan kewujudan Yang Maha Pencipta.”
Pandangan Al-Biruni ini tentu saja berbeda dengan para saintis Barat pada zaman modern, yang memprioritaskan sains daripada agama. Pandangan mereka tentang alam seolah-olah menafikan keberadaan Alllah sebagai Pencipta.
Kejayaan Al-Biruni dalam bidang sains dan ilmu pengetahuan ini turut mendapat pujian dari ilmuwan Barat. Max Mayerhof, misalnya, menyatakan “Abu Raihan Muhammad bin al Biruni digelari sebagai ahli kedokteran, astronomi, matematika, ilmi fisika, geogarfi dan sejarah. Ia mungkin sosok paling menonjol pada zaman keemasan pengetahuan Islam.”
Pengakuan yang sama juga dinyatakan oleh ahli sejarah asal India, Si J.N. Sircar. Ia berucap, “Hanya sedikit orang yang memahami fisika dan matematika. Di antara yang sedikit itu, yang terbesar di Asia adalah Al-Biruni. Ia sekaligus seorang filsuf dan ilmuwan andal. Ia pakar dalam kedua bidang tersebut.”
Al-Biruni, tokoh dan ilmuwan ulung ini, akhirnya menghadap ilahi Rabbi pada thun 1048 M, ketika ia berusia 75 tahun.


Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: