AD-DAKHIL (Sang Penakluk Kordoba)

October 04, 2017 0 Comments


Ketika pasukan musllimin menggali kanal untuk Perang Parit, seorang Anshar tertimpa sebongkah batu besar. Umar segera melaporkan dan meminta pertolongan Nabi Muhammad Saw. Kemudian, Nabi Muhammad Saw. Mengambil pangkur, lalu memukul batu itu. Pada pukulan pertama, keluar kilatan cahaya di atas kota mengarah ke selatan. Beliau memukul batu tersebut dan keluar lagi kilatan cahaya, namun kali ini mengarah ke Uhud dan melewatinya menuju utara. Pada pukulan ketiga, batu itu hancur berkeping-keping dan kilatan cahaya menyemburat ke arah timur.
Salman yang menyaksikan peristiwa itu bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “Apa takwilnya?”
Nabi Muhammad Saw. Menjawab, “Dengan cahaya yang pertama, aku dapat menyaksikan kastil-kastil di yaman. Dengan cahaya yang kedua, aku melihat kastil-kastil di Syria. Dengan cahaya yang ketiga, aku menyaksikan Istana Kisra di Mada’in. Melalui cahaya yang pertama, Allah Swt membukakan pintu bagiku menuju Yaman. Lewat cahaya yang kedua, Allah Swt membukakan pintu bagiku menuju Syria dan dunia Barat. Melalui cahaya yang ketiga, Allah Swt membukakan pintu bagiku ke arah timur.”
Itulah inspirasi ilahi yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, yang terwujud pada masa Khulafaur Rasyidin yang keempat, yang berupa penaklukan dan perluasan wilayah kekuasaan Islam. Estafet penyebaran Islam terus berlanjut dengan berdirinya Kerajaan Bani Umayah, yang kemudian digantikan dengan berdirinya Bani Abbasiyah (750-1258 M) yang berpusat di Baghdad. Sejak itu, banyak pemuka Bani Umayah yang ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dibunuh kejam oleh penguasa Abbasiyah.

A.   Akhir Dinasti Umayah di Wilayah Timur
Dari kota Khurasan, ibu kota Provinsi Kufah, Gubernur Nashr menuliskan sepucuk surat kepada Khalifah Marwan ibn Muhammad (Marwan II) menjelang tahun 132 H atau 749 M. Dalam surat iitu, ia memperingatkan khalifah bahwa saat keruntuhan Dinasti Umayah akan tiba jika ia tidak waspada.
“Aku melihat arang telah berkobar di tengah-tengah bara api. Seklipun kecil, besar kemungkinan akan menjadi bara api. Api menyala dari para pencuri kayu, sedangkan peperangan akan berkobar dari lidah-lidah yang mengibasnya,” ungkap Gubernur Nashr dalam surat tersebut.
Gubernur Nashr tahu persis bahwa di wilayahnya sampai kota Baghdad sedang berkobar gerakan anti Umayah. Marwan pun paham aksi-aksi tersebut. Sejak Mu’awiyah ibn Abi Sufyan naik tahta, telah ada gerakan semacam itu dari para pendukung Ali ibn Thalib.
Namun, pada 28 November 749 M (12 Rabi’ul Akhir 132 H), setelah 89 berkuasa, Dinasti Umayah terjungkal, bukan oleh pendukung keluarga Ali, tetapi oleh keturunan Abdullah ibn Abbas. Di Masjid Jami’ Kuffah, pada hari itu, dilantik Abdul Abbas sebagai Khalifah Bani Abbas yang pertama.
Marwan II, setelah melakukan perlawanan sengit selama 2 tahun lamanya, akhirnya tumbang juga. Sontak, semua anggota klan Umayah diburu pasukan Bani Abbas, lalu dibantai. Namun, diantara pemuka Bani Umayah, ada pula yang berhasil meloloskan diri dari kepungan maut abbasiyah itu.
Dinasti Umayah di Kordoba bermula dari seorang pemuda yang lolos dari pembantaian Bani Abbas di Damaskus, yang mulai membangun kembali dari awal kekuasaannya di Andalusia, Spanyol, sampai menjadi besar dan disegani. Pemuda itu berdiri lama di tepian Pantai Ceuta, pantai timur Selat Gibraltar, Afrika Utara. Matanya memandang ke arah barat. Mungkin saja ia sedang membayangkan jazirah di Semenanjung Iberia di Eropa barat daya yang terletak persis di bagian barat Selat Gibraltar; satu wilayah yang telah ada di bawah kekuasaan pasukan muslim sejak 710 M.
Ketika itu, Thariq ibn Abdil Malik an-Nakha’i memimpin 400 psukan infantri bersama 100 pasukan berkuda (kavaleri) dan melakukan invasi awal atas perintah Musa ibn Nusair, Gubernur Afrika Utara. Ceuta, tanah yang dipijak oleh Thariq ketika itu baru sekitar dua tahun ditaklukan oleh Musa ibn Nusair atas perintah Khalifah Walid ibn Abdil Malik (Walid I) dari kekuasaan Bizantium, kemudian terkenal sebagai Magribi.
Gubernur Ceuta yang berada di bawah kekuasaan Bizantium adalah Julianus. Penguasa Bizantium ini bekerja sama dengan Gubernur Musa guna menyerang Andalusia. Julianus menaruh dendam terhadap Roderick, Raja Andalusia. Roderick telah menggagahi putri Julianus yang diutus ke Kordoba. Selain itu, Julianus ingin memanfaatkan situasi untuk memisahkan Ceuta dari Andalusia.
Pemuda di tepi Pantai Ceuta itu bernama Abdurrahman ibn Mu’awiyah ibn Hisyam ibn Abdil Malik (ad-Dakhil). Mengenai nama ibunya jarang tertulis dalam sejarah, tetapi pernah menyamarkan dirinya bernama Rah, sebagai seorang hamba sahaya, dalam usaha menyembunyikan identitasnya akibat pengejaran Bani Abbad. Pengembaraan Abdurrahman mmbutuhkan waktu selama 5 tahun sampai ia tiba di Ceuta.
Abdurrahman adalah anggota klan Umayah. Keluarga ini, dalam sejarah kekuasaan negeri-negeri muslim, pernah sangat menderita dan terus-menerus menghindari pengejaran pasukan Abu Abbas as-Saffah. Abdurrahman tiba di Ceuta pada tahun 755 M, dengan ditemani oleh seorang pendukung setianya bernama Badr.
Sebagai orang yang terus diburu oleh pasukan Bani abbasiyah, yang mengambil alih kekuasaan Bani Umayah pada tahun 750 M, Abdurahman ad-Dakhil harus lari dan sembunyi. Ia meninggalkan rumahnya di Syam (Suriah), dan melewati gurun-gurun ganas di Semenanjung Arabia sampai Afrka Utara, serta melintasi Palestina, Mesir dan Barqa (Libya), hingga mencapai Maroko. Tetapi, ia lebih memilih Libya sebagai tempat persembunyian, di bawah perlindungan suku Berber. Di sana, ia menetap selama beberapa tahun, memantau keadaan dan mengincar peluang. Di sanalah, ia menetapkan visi dan misinya untuk merebut Andalusia.
Dalam sejarah Islam, ada dua Dinasti Umayah, yang pertama berada di Damaskus, sedangkan yang kedua ada di Kordoa. Keduanya dalam tempat dan waktu yang berbeda. Meskipun demikian, keduanya masih satu rangkaian silsilah keluarga, yakni sama-sama berinduk pada klan Umayah dari suku Quraisy di Mekah.
B.    Keturunan Terakhir
Di tepian Sungai Efrat, suatu ketika terjadi pertempuran keras dua kubu, Bani Abbas sebagai pendongkel kekuasaan, melawan penguasa saat itu, Bani Umayah. Di tengah sungai tersebut, ada dua pemuda kakak beradik berusaha sekuat tenaga lolos dari kejaran tentara Bani Abbas. Mereka mati-matian berenang dan tangan-tangan mereka mengayuh-ngayuh di air tak beraturan. Dari cara bergerak, tampaknya mereka tak bisa berenang. Mereka harus lari jika tidak, bisa dipastikan bahwa mereka akan dibunuh karena termasuk keturunan Umayah.
Si kakak bisa lolos, tetapi si adik yang bernama Sulaiman tertangkap. Sulaiman menemui ajal di ujung pedang para tentara Abbasiyah yang dikomandoi oleh Abdullah ibn Ali, paman Khalifah Abdul Abbas. Di tengah sungai itu, Abdurrahman menengok ke arah teriakan adiknya sambil terus berenang. Ia masih melihat adiknya berteriak meminta tolong, namun keadaan memaksanya terus berenang. Jika ia berbalik menolong adiknya, berarti ia mmenyerahkan kepala untuk di tebas. Dalam hatinya, ia berharap agar adinya tidak bernaasi seperti anggota keluarganya yang lain. Sebab, adiknya masih kanak-kanak yang baru berusia 13 tahun. Tetapi dalam kenyataannya, si adik dibunuh juga.
Abdurrahman adalah pemuda yang lolos itu. Namun, pasukan bani Abbas terus melakukan pengejaran terhadap dirinya. 5 tahun lamanya, ia berpindah-pindah di kawasan Jazirah Arab Asia Timur, kemudian menuju Jazirah Arab di Afrika utara dengan menyamar. Ia pernah kepergok pasukan khusus yang dikirim oleh Abdurrahman ibn Habib, penguasa Afrika Utara, Maroko dan Andalusia, ke Tripoli (Libya) untuk menangkapnya. Pasukan ini adalah orang-orang berber suku Naghwaza. Mujur, mereka tak mengenali Abdurrahman.
Lolos di Tripoli, Abdurrahman bertekad bulat menuju Ceuta pada tahun 755, setelah 6 tahun perjalanan, sejak dari penyeberangan Sungai Efrat di Suriah. Ia diterima baik oleh kalangan Berber yang masih punya hubungan famili dengan ibunya.
Di Ceuta, Abdurrahman merasa nyaman lantaran warga Berber meerupakan pendukung setia Dinasti Bani Umayah. Dengan begitu, ia leluasa mewujudkan tekadnya untuk membangun kembali Dinasti Umayah di Negeri Semenanjung Iberia atau yang lebih dikenal dengan nama Andalusia. Kini, wilayah itu menjadi Spanyol dan Portugal.
C.    Penaklukan Andalusia
Hanya beberapa bulan di Ceutra, Abdurrahman sudah mampu membaca peta politik di Afrika Utara dan Andalusia. Secara diam-diam, ia menyurati para pendukung setia keluarganya di Andalusia. Ia mengutus Badr, pelayan setianya untuk membawa surat itu. Dalam surat tersebut, ia menceritakan kisah pelariannya, termasuk Abdurrahman ibbn Habib, bekas Gubernur Umayah yang kemudian berbalik mendukung Abbasiyah, tetapi belakangan ini menyatakan wilayahnya merdeka. Ia meminta kepada para simpatisan klan Umayah agar bersedia menerima kehadirannya di tengah mereka agar dirinya aman.
Ketika surat itu dibawa oleh Badr ke tengah-tengah tokoh-tokoh politik pendukung Umayah, maka serta merta mereka bersedia dan senang menerimanya. Tokoh utamanya adalah Abdul Hajjaj Yusuf Ibn Bukht. Adapun tokoh lainnya, seperti Shumail ibn Khatim dari Zaragosa, pun diajak memperbincangkan isi surat tersebut. Sebab, mereka menangkap adanya isyarat politik di balik surat ini, yakni keinginan Abdurrahman untuk tampil menjadi penguasa Andalusia guna meneruskan kejayaan Dinasti Umayah yang telah ditumbangkan oleh Bani Abbas di Damaskus.
Shumail ibn Khatim menyambut tawaran politik tersebut sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Sebab, saat itu, ia sedang berada dalam kondisi terjepit akibat pengepungan Amir Ibn Amr dan Tamim ibn Ma’bad, dua pimpinan pemberontak yang tak suka terhadap dirinya kala ia berkuasa sebagai Gubernur Zaragosa. Ia telah mengetahui bahwa Abdurrahman sudah memperluas pengaruhnya di kalangan rakyat Afrika Utara dan telah terbentuk pula pasukan Abdurrahman pergi ke Andalusia maka ia bisa berkoalisi demi keselamatan dirinya. Bahkan, ia menawarkan anak gadisnya untuk diperistri oleh Abdurrahman demi mengikat kekeluargaan, tetapi Abdurrahman menolak dengan halus.
Mendengar Abdurrahman akan datang dengan kekuatannya, amir dan Tamim segera melepaskan pengepungannya terhadap Shumail. Sulaiman ibn Syihab, seorang tokoh perang, diangkat oleh simpatisan Umayah untuk menajdi pangllima perang demi mengamankan kedatangan Abdurrahman. Maklum, rencana kedatangan itu telah menyebar ke banyak kalangan, termasuk di kalangan orang-orang Yaman di Andalusia yang sedang terpinggirkan oleh Syam (Qais) akibat keberpihakan Gubernur Andalusia yang diangkat oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua yang menggantikan As-saffah. Maka, pantas saja bila orang-orang Yaman memberontak dan bergabung dengan Abdurrahman.
Satuan-satuan pasukan yang terdiri atas orang-orang Suriah dan Yaman menyambut kedatangan Abdurrahman. Ia meninggalkan Ceuta bersama sekelompok pendukungnya dengan kapal yang sengaja dikirim oleh massa pendukungnya di Andalusia guna menyeberangi Selat Gibraltar menuju Andalusia.
                                   Pertempuran di sungai Guadalete atau Barbete

Di Andalusia, pasukan Abdurrahman ternyata mendapat “sambutan panas”. Gubernur Yusuf bin Abdirrahman al-Fihry memimpin perang melawan Abdurrahman di Wadi Bakkah, pada 14 Mei 756 M. Tepat pada hari raya Idul Adha, pasukan Abdurrahman berhasil menduduki kota Kordoba, kota utama Andalusia.
Abdurrahman digelari “Ad-Dakhil”, bermakna yang masuk atau yang menaklukkan. Ia menaklukkan masyarakat yang bertikai, penguasa Abbasiyah dan para raja Kristen Spanyol yang bergerilya menentang kependudukan penguasa muslim. Pada gilirannya, Abdurrahman pulalah yang menggusur dominasi peradaban zaman pertengahan Eropa yang digambarkan sebagai penuh lumpur dan kotoran.
D.   Sang Pemersatu
Keberhasilan Abdurrahman ad-Dakhil di Andalusia, yang ketika itu diperintah oleh Yusuf bin Abdurrahman al-Fihry, dikarenakan Andalusia sedang dilanda beragam masalah, yakni adanya berbagai pertentangan antar bangsa Arab dengan bangsa Berber. Dua kelompok ini merasa paling berjasa dalam mendirikan Islam di Andalusia. Sehingga, mereka ingin berkuasa. Pertentangan yang demikian itu telah membuka peluang bagi Abdurrahman untuk ikut serta berperan dalam mengatasi masalah yang dihadapi negeri tersebut.
Agar mudah masuk ke Andalusia, terlebih dahulu diutus seorang pengiringnya yang setia bernama Badar, untuk pergi ke Semenanjung Andalusia. Utusan Abdurrahman diterima dengan baik oleh kabilah Arab. Dengan demikian, Abdurrahman dapt memasuki tanah Andalusia, serta memperoleh pengikut yang banyak jumlahnya.
Masuknya Abdurrahman ke Andalusia telah membuat Yusuf Bin Abdurrahman marah besar. Sebab, kehadiran Abdurrahman ad-Dakhil akan menjadi ancaman bagi pendukungnya. Pada tahun 139 H atau 758 M, terjadilah pertempuran antara kelompok Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam dengan tentara Yusuf bin  Abdurrahman al-Fihry di dekat kota Kordoba yang berakhir dengn kemenangan pihak Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Hisyam (ad-Dakhil). Maka, masuklah ia ke kota Kordoba sebagai panglima besar yang membawa kemenangan dengan gelar “Ad-Dakhil” yang berarti “Penakluk Spanyol”. Sedangkan Khalifah Al-Mansur dari Daulat Abbasiyah memberi gelar “Saqar Quraisy” (Rajawali Quraisy). Sejak itulah Abdurrahman ad-Dakhil mendirikan pemerintahan Bani Umayah II di Andalusia, yang terlepas dari kekuasaan Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, dengan mengambil ibu kotanya di Kordoba.
Faktor keberhasilan Ad-Dakhil dlam mendirikan kekuasaan Bani Umayah di Andalusia yaitu:
1.       Kecerdikan Abdurrahman ad-Dakhil dalam mengatur siasat
2.       Keberhasilannya dalam menghimmpun kekuatan yang besar
3.       Keberhasilannya dalam menggalang persatuan pada kelompoknya
4.       Kurangnya dukungan rakyat terhadap Yusuf bin Abdurrahman al-Fihry
E.    Siasat Abdurrahman
Ketika berhasil menduduki Kordoba, Abdurrahman langsung memberlakukan amnesti umum dan menjadi amir pemerintahan di Spanyol sampai tahun 788 M.  Penanganan krisis ekonomi dan pangan menjadi prioritas pemerintahannya. Situasi internal di Spanyol yang penuh pemberontakan bisa diredamnya dengan membangun pasukan terlatih berdisiplin tinggi sebanyak 40.000 personel. Sebagian besar personelnya adalah muslim suku Berber yang didatangkan dari Afrika Utara. Agar pasukannya loyal, mereka digaji tinggi.
Pasukan ini cukup ampuh menjaga stabilitas negeri. Satu demi satu pemberontakan dipatahkan, bahkan bisa menaklukan Yusuf al-Fihry yang telah diampuni, tetapi memberontak lagi di wilayah utara dan akhirnya terbunuh di Toledo. Pemerintahan Abdurrahman pun dapat memadamkan rencana makar kaum Syiah dan kabilah Arab yang didalangi oleh pengikut Abbasiyah, bahkan sampai memukul mundur Karel Agung.
Saat Khalifah Abu Ja’far al-Manshur mengangkat Al-A’la ibn Mughirah sebagai Gubernur Andalusia pada tahun 761 M, Abdurrahman segera menangkapnya. Dua tahun kemudian, ia dijatuhi hukuman mati. Kepalanya diawetkan dengan garam dan kamper, kemudian dibungkus bendera hitam dan diselipi surat pengangkatan sang gubernur. Bungkusan itu dikirimkan ke Khalifah Manshur yang sedang berhaji.
Menerima kenyataan itu, Al-Manshur memuji Allah karena ia dan Abdurrahman dipisahkan oleh laut. “jika tidak, tentu saja akan terjadi pertempuran yang dahsyat,” ungkap Al-Manshur.
Ketiadaan reaksi Al-Manshur menunjukkan kekuasaan Abdurrahman sangat diperhitungkan. Al-Manshur menjuluki penguasa Spanyol itu dengan “Saqar Quraisy” alias Rajawali Quraisy karena ia berhasil membangun kekuasaan jauh melintasi Jazirah Arab.

Pada tahun 756-788 M, pada masa pemerintahan Abdurrahman ad-Dakhil, Islam berkemilau di dunia Barat. Pada masa itu, berdiri Masjid Agung Kordoba, yang kemudian masyhur sebagai pusat Islam di Barat. Abdurrahmanlah yang menjadi pelopor kegiatan intelektual, seni dan budaya, sehingga Kordoba pada abad ke-9 sampai ke- 11 merupakan pusat Kebudayaan, serta pusat imu pengetahuan dunia di Barat, yang sejajar dengan Baghdad di Timur.
                                 Salah satu peninggalan masa keemasan Cordoba 
                                  yang masih ada sampai saat ini masjid cordoba
F.    Negeri Pengetahuan
As-Samah bin Malik Al-Khaulani adalah arsitek yang membangun kota dan menjadikannya sebagai salah satu pusat kebudayaan terbesar yang kemudian Kordoba menjadi pusat kebudayaan Andalus yang muslim. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umawiyah, Kordoba mengalami masa keemasan dan puncak kejayaan, khususnya setelah Khalifah Abdurrahman ad-Dakhil mengumumkan sebagai ibu kota kerajaan Andalus dan menjadikannya sebagai pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan dan sastra di wilayah Eropa secara keseluruhan. Setelah itu, sang khalifah mulai memanggil para fuqaha (ahli fiqh), ulama dan sastrawan untuk singgah di Kordoba. Saat itu, Eropa masih terlelap dalam kebodohan, kemunduran dan keterpurukan.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman ad-Dakhil dan putranya, Al-Hakam al-Mustanshir, Kordoba mengalami jaman keemasan dan puncak kejayaan dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Saat itu, yang menjadi saingan Kordoba adalah Baghdad, ibu kota Kerajaan Abbasiyah, Konstantinopel (Istanbul), Ibu kota Bizantium serta Kairo, Ibu kots Dinasti Fathimiyah.
Para duta besar dari negara-negara jauh sampai di Kordoba, seperti India dari kota-kota Bizantium, Jerman, Prancis, Italia, negara-negara lain di Eropa dan sebelah selatan Spanyol, para penguasa suku Berber serta dan kabilah-kabilah di Afrika, yang berdatangan ke Kordoba.
Al-Hakam al-Mustanshir atau Al-Hakam bin Abdurrahman ad Dakhil adalah salah satu khalifah Dinasti Umawiyah di Andalus. Al-Hakam menerima kursi kekuasaan pada 3 Ramadhan 350 H sebagai pengganti ayahnya, Abdurrahman ad-Dakhil yang kemudian digelari dengan Al-Hakam al-Mustansir.
Masa pemerintahannya terkenal dengan kemajuan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra. Ia adalah khalifah yang paling cinta terhadap kitab-kitab dan buku. Ia mengirim banyak utusan dengan membawa harta yang berlipat-lipat dalam rangka mendatangkan kitab-kitab ke Andalus. Di Kordoba, ia mendirikan sebuah perpustakaan yang erisi 400.000 jilid kitab.
Bidang pendidikan mengalami masa kebangkitan yang luar biasa pada masa pemerintahannya. Kepandaian baca tulis merata di seluruh lapisan masyarakat. Saat itu, kebanyakan tokoh dan bangsawan Eropa tidak mengerti baca tulis.
Al-Hakam juga mendirikan sekolah yang memberikan pendidikan secara gratis bagi kaum fakir miskin, sebagaimana ia mendirikan Universitas Kordoba, salah satu universitas terkenal pada masanya dan yang menjadi pusatnya adalah sebuah masjid. Di dalamnya diajarkan semua bidang ilmu pengetahuan dalam bentuk halaqah, dan seorang murid bebas memilih guru yang ia kehendaki.

dari Universitas inilah, barat menyerap ilmu pengetahuan. salah satunya mahasiswa
 Kristen yang menuntut ilmu di Spanyol adalah Gerbert d' Aurillac (945-10003) 
           yang kemudian menjadi pemimpin agama katolik di dunia Paus Sylvester II

Metode belajar dengan sistem halaqah seperti ini bisa menghabiskan separuh bangunan Masjid Jami’. Pada masanya ada pula penggolongan para guru agar mereka bisa terjun secara maksimal dalam pendidikan dan menulis karya ilmiah. Pada masanya juga diadakan beasiswa bagi para pelajar, serta uang tanggungan dan gaji bagi mereka yang membutuhkan (fakir miskin). Bahkan, ada beberapa syekh atau guru yang mengisi jabatan ustadziyyah (semacam level profesor) di bidang ‘ulum al-Qur’an, hadits dan nahwu.
Al-Hakam mempercayakan kepada saudaranya, Al-Mundzir untuk bertanggung jawab dan memimpin Jami’ah Qurtubah (Universitas Kordoba). Ia juga mempercayakan perpustakaan umum Dinasti Umawiyah kepada saudaranya yang lain, yakni Abdul Aziz.
Kordoba telah menghasilkan banyak ulama dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti Ibnu Abdil Barr, Ibn Hazm az-Zhahiri, Ibn Rusyd, Al-Zahrawi, Al-Idrisi, Al-Abbas bin Farnas, Al-Qurthubi dan lain sebagainya.
Kordoba tetap dalam keunggulan seperti ini dibandingkan dengan kota-kota lain di Spanyol hingga runtuhnya masa Dinasti Umawiyah pada tahun 404 H atau 1013 M ketika tentara berber memberontak, serta menggulingkan kekhalifahan. Mereka menghancurkan istana-istana para kekhalifahan. Mereka menghancurkan istana-istana para khalifah, meluluhlantakkan kota, serta merampas keindahannya. Sejak saat itu, padamlah sinar kemajuan di kota tersebut dan akhirnya pindah ke kota selanjutnya, Asybiliah (Sevilla).
Masjid Jami’ terhitung sebagai satu karya besar dalam bidang seni bangunan yang didirikan pada masa Abdurrahman ad-Dakhil dan Masjid Kordoba tetap eksis hingga sekarang dengan seni dan artefak ala Islam lengkap dengan mihrab-mihrabnya. Akan tetapi, saat ini, masjid itu telah berubah fungsi menjadi Gereja Katedral setelah Kordoba berhasil ditaklukan dan dirombak dengan membuang banyak kubah serta ornamen keislamannya.

Sekalipun demikian, masjid ini mampu mempertahakan sebagian keunggulannya hingga jatuh ke tangan Fernando III pada 23 Syawal 633 H. Maka, kaum muslimin sangat bersedih melihat keruntuhan itu, sehingga masjid tersebut beralih fungsi menjadi gereja. Kaum muslimin dipaksa meninggalkannya dan usailah sudah lembaran kebudayaan kaum muslimin yang luar biasa, yang berlangsung selama 5 abad di kota tersebut.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: