AL-KINDI (Sang Maestro Filosof Islam Pertama)

October 08, 2017 0 Comments


Nama lengkapnya Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq ash-Shabbah bin ‘Imran bin Ismail bin Al-Asy’ats bin Qaya Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 185 H (801 M). Ayahnya bernama Ishaq Ash-Shabbah, Gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid. Ia hidup pada masa Khalifah Al-Amin (pada tahun 809-813), Al-Ma’mun (pada tahun 813-833), Al-Mu’tasim (pada tahun 833-842). Al-Wathiq (pada tahun 842-847) dan Al-Mutawakkil (pada tahun 847-861).
 Keluarga Al-Kindi berasal dari suku Kindah, salah satu suku Arab yang besar di Yaman, sebelum Islam datang ke sana. Selanjutnya, nenek moyangnya hijrah ke Kufah. Nama Al-Kindi dikenal di kemudian hari melalui kitab-kitabnya yang berjumlah tidak kurang dari 241 buah dalam bidang filsafat, logika aritmetika, kedokteran, ilmu jiwa, politik, musik, matematika dan lain-lain. Semasa hidupnya, penerjemahan buku-buku Yunani sangat pesat dan ia turut aktif dalam kegiatan itu, yakni sejak didirikannya Bait al-Hikmah oleh Al-Ma’mun.
Al-Kindi adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf muslim pertama. Memang, secara etnis, Al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar di daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan Al-Kindi adalah ia mampu menjelaskan filsafat Yunani kepada kaum muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Pendidikan dasar ditempuh oleh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, ia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, ia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani dan Arab. Inilah sebuah kelebihan yang jarang dimiliki oleh banyak orang pada era itu.
Al-Kindi hidup pada era kejayaan Islam Baghdad di bawa kekuasaan dinasti Abbasiayh. Tak kurang dari 5 periode Khalifah dilaluinya, yakni Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Watsiq (842-847) dan Mutawakkil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai imu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Bait al-Hikmah (House of Wisdom), yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku imu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan oleh putranya, Al Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapat peran yang besar. Secara khusus, ia diangkat menjadi guru bagi putranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerjaan. Menurut An-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Bait Al-Hikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antaranya sederet buah pikirnya dituangkan ke dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukkan bahwa Al-Kindi adalah orang yang berilmu pengetahuan luas dan mendalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri, yaitu sebanyak 32 judul. Adapun buku filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Sementara itu, buku logika sebanyak 9 judul dan fisika sejumlah 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkan oleh Al-Kindi begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada Abad Pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filsuf muslim pertama, karena ia adalah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga aba ke7 M, filsafat masaih didominasi oleh orang orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun ia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah era Khalifah Al-Mu’tasim berakhir dan tampuk kepemimpinan beralih ke Al-Watsiq dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Kumudian, Khalifah Al-Mutawakkil mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama.
Ketika Khalifah Al-Mutawkkil tak lagi menggunakan paham Muktszilah sebagai aliran pemikir resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih oleh ilmuwan lain yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi dan perpustakaan pribadinya sempat diambil alih oleh putra-putra Musa. Namun, akhirnya Al-Kindiyah (perpustakaan pribadi itu) dikembalikan lagi.
“Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar pada Abad Pertengahan,” cetus sarjana Italia Era Renaissance, Geralomo Cardano (pada tahun 1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu an-Nadim, Al-kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun mendapuknya sebagai filsuf Arab yang paling tangguh.
A.   Tokoh Filsafat
Sebagai  penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafatlah, manusia bisa belajar menganai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat dalam pandangan Al-Kindi bertujuan memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Salah seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin menggambarkan akhir hayat dari sang filsuf Islam. Menurut Corbin, pada tahu 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat itu, baghdad sedang dikuasai oleh rezim Al-Mu’tamid. Setelah Al-Kindi meninggal, buku-buku filsafat yang dihasilkannya pun banyak yang menghilang.
Sejarawan Felix Klein Franke menduga bahwa lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan oleh rezim Al-Mutawakkil yang tak senang terhadap paham Muktazillah. Selain itu, papar Klein Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya Al-Kindi akibat ulah serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yag membumihanguskan kota Baghdad dan Bait al-Hikmah.
Pada dasarnya, menurut Al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan menuju yang benar. Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar yang tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya.
Dengan demikian, menurut Al-Kindi, orang yang menolak filsafat berarti mengingkari kebenaran. Ia mengibaratkan orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang memperdagangkan agama dan orang itu pada hakikatnya tidak lagi beragama karena ia telah menjual agamanya. Dalam beberapa hal, Al-Kindi sependapat dengan filsuf terdahulunya, seperti Plato dan Aristoteles. Namun, dalam hal-hal tertentu, Al-Kindi mempunyai pandangan sendiri.
Banyak buah pemikiran Al-Kindi yang kemudian menjadi hukum-hukum perspektif pada Zaman Renaissance Eropa. Karena ditakdirkan untuk menyatukan unsur-unsur sains kealaman dan matematika, Al-Kindi menolak konsep Aristoteles tentang penglihatan sebagai bentuk yang diterima oleh mata dari objek yang sedang dilihat. Sebaliknya, ia memahami bahwa proses penglihatan ditimbulkan oleh daya pencahayaan yang berjalan dari mata ke objek dalam bentuk kerucut radiasi.
Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
B.    Pemikiran Al-Kindi
Al-Kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, diantara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ni dikarenakan matematika bagi Al-Kindi adalah mukadimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Adapun yang paling utama dari cakupan matematika dalam hal itu adalah ilmu bilangan atau aritmetika. Sebab, jika bilangan tidak ada makan tidak akan ada sesuatu pun. Dalam hal inilah, kita bisa melihat pengaruh filsafat Pythagoras secara samar-samar.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi 3 yaitu, daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible) dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta, sedangkan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula.
Menurut Al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukanlah untuk menggugat kebenaran wahyu, serta menuntut keunggulan yang lancang dan menggugat persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang wahyu.
Al-Kindi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, Al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan ia tidak dapat mengatasi problem, semisal mukjizat, surga, neraka dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, Al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nibilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, serta kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.
C.    Al-Kindi dan Ketuhanan
Menurut Al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan yang benar, sedangkan agama menerangkan sesuatu yang benar. Jadi jelaslah ada perbedaan di antara filsafat dan agama. Keduanya bertujuan menerangkan sesuatu yang benar dan baik. Agama menerangkan wahyu dengan mempergunakan akal dan filsafat pun menggunakan akal. Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat. Hanya saja, argumentasi yang dikemukakan oleh Wahyu lebih meyakinkan daripada argumen filsafat.
Al-Kindi beranggapan bahwa Tuhan adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan bersifat Esa, Azali dan Unik. Dia tidak tersusun dari materi dan bentuk, serta tidak bertubuh dan bergerak. Dia hanyalah keesaan belaka. Selain Tuhan, semuanya mengandung arti banyak.
Sebagaimana yang telah diketahui, Al-kindi banyak mempelajari filsafat yunani. Maka, dalam pemikirannya, banyak terlihat unsur-unsur filsafat Yunani itu. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemikiran filsafat Al-Kindi adalah sebagai berikut :
1.       Aliran Pythagoraas tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat
2.       Pikiran-pikiran Aristoteles dalam hal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadim-nya alam.
3.       Pikiran-pikiran Plati dalam hal kejiwaan
4.       Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles dalam hal etika.
5.       Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya
6.       Pikiran-pikiran aliran Muktazilah dalam penghargaan kekuatan dan menta’wil kan ayat-ayat al-Qur’an.
Karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapatkan pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa Al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat yunani. Tetapi, bila pemikirannya dipelajari dengan saksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapatkan pengaruh pikiran dari filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai kepribadian sendiri.
Dari beberapa pemikiran filsaat yang ditekuninya, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat ketuhananlah yang mendapatkan derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia beranggapan bahwa menganai Tuhan adalah bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.
Filsafat Al-Kindi tentang keesaan Tuhan didasarkan pada wahyu dan proposisi filosofis. Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah Dzat Yang Benar Pertama (Al-Haqq a-Awwal) dan Dzat Yang benar Tunggal. Al-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak, bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada objek-objek yang dapat ditangkap indra.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Dzat-Nya. Jiwa atau ruh adalah salah satu pembahasan Al-kinndi. Ia juga merupakan filsuf muslim pertama yang membahas hakikat ruh secara terperinci.
Al-Kindi membagi ruh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal menjadi 3 yakni, akal yang bersifat potensial, akal yang keluar dari sifat potensial menjadi aktual dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karen itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
D.   Kitab Pemecah Kode
Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak Cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya ini, Al-Kindi memaparkan cara menguraikan kode-kode rahasia.
Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab tersebut. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia, serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya dan yang paling penting lagi, dlam kitab ini, Al-Kindi mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistik untuk memecahkan kode-kode rahasia.
Kriptografi dikuasai oleh Al-Kindi lantaran ia adalah pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis 4 buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmetika modern. Al-Kindi juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi.
Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan terembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam naluri Al-Kindi dalam bidang Kriptoanalis. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya, diterjemahkan sebagai Manuscript on Decipthering Cryptographic Messages. “Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu pembahasannya, adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah. Selanjutnya, pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua dan seterusnya,” ungkap Al-Kindi.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi, dicermati teks rahasia yang ingin dipecahkan, selanjutnya, dilakukan klasifikasi simbol-simbolnya. “di sana, kita akan menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlan dengan catatan kejadian satu, dua dan seterusnya sampai seluruh simbol terbaca,” papar Al-Kindi. Teknik itu akhirnya dikenal sebagai analisis frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia dan menggantikan simbol dengan huruf.
Sejarah telah mencatat bahwa orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (pada tahun 500-400 SM) adalah Socrates (pada tahun 469-399 SM).  Kemudian, hal ini diteruskan oleh Plato (pada tahun 427-457 SM). Selanjutnya, hal itu diteruskan kembali oleh muridnya yang bernama Aristoteles (pada tahun 384-322 SM).

Setelah Zaman Aristoteles usai, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus para filsuf terdahulu hingga lahirnya sosok filsuf muslim pertama pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah (pada tahun 132-656 H).

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: