IMAM BUKHARI; Sang Penghulu Hadits

October 15, 2017 0 Comments


Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-ju’fi al-Bukhari atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Bahkan, dalam kitab-kitab fiqh dan hadits, hadits-haditsnya memiliki derajat yang tinggi. Sebagian orang menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (pemimpin Kaum Mukminin dalam Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya
Imam bukhari diberi nama Muhammad oleh ayahnya, Ismail bin Ibrahim dan yang sering kali menggunakan nama aslinya itu adalah Imam Tirmidzi dalam komentarnya setelah meriwayatkan hadits dalam Sunan Tirmidzi. Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; Imam Bukhari dikenal sebagai Al-Bukhari. Dengan demikian, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Ia lahir pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak lama setelah lahir, ia kehilangan penglihatannya.
Buyutnya, Al-Mughirah semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantara Gubernur Bukhara yang bernama Al-Yaman al-Ju’fi. Sedangkan ayahnya, Ismail bin Al-Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al-Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuwan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al-Mubarak.
Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada suatu malam, ibu Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim As yang telah mengatakan, “Hai Fulanah, sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putaramu karena seringnya kamu berdoa.” Ternyata, pada pagi harinya, sang ibu menyaksikan kedua mata putranya (Imam Bukhari) telah bisa melihat kembali.
Imam Bukhari kecil dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab Ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang wara’ atau berhati-hati terhadap hal-hal yang bersifat syubbat (samar) hukumnya, terlebih lagi terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid Imam Maliki, yaitu seorang ulama besa dan ahli fiqh. Ayahnya wafat ketika Imam Bukhari masih kecil.
Sebelum menetapkan sebuah hadits menjadi shahih, Imam Bukhari senantiasa menelitinya, mulai dari kualitas hadits, jumlah periwayat (perawi), keadilan dan tingkat hafalan periwayat, hingga muttasil (bersambung) ke Rasulullah Saw.
Imam Bukhari dikenal sebagai seorang ulama dan ahli dalam ilmu hadits. Ketelitian dan kecermatannya untuk mengumpulkan hidts-hadits shahih telah diakui oleh para ulama. Bahkan, kitab hadits yang disusunnya (Shahih Bukhari) menjadi rujukan hampir semua ulama di dunia. Nama besarnya sejajar dengan para ahli hadits yang pernah ada sepanjang zaman.
Sejak kecil, Imam Bukhari memang telah menunjukkan bakatnya yang cemerlang dan luar biasa. Ia mempunyai ketajaman ingatan dan hafalan yang melebihi orang lain. Ketika berusia 10 tahun, ia belajar ilmu hadits kepada Ad-Dakhili, salah seorang ulama yang ahli dalam bidang tersebut.
Setahun kemudian, Imam Bukhari mulai menghafal hadits Rasulullah Saw dan sudah mulai berani mengoreksi kesalahan dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan hadits. Pada usia 16 tahun, ia sudah menghafal hadits-hadits yang terdapat dalam kitab karya Ibnu Mubarak dan waki’ al Jarrah.
Guru-guru Imam Bukhari dalam bidang hadits sagatlah banyak. Ada yang menyebutkan hingga mencapai lebih dari seribu orang. Imam Bukhari sendiri pun pernah mengatakan bahwa kitab Al-Jami’ ash-Shahih atau yang terkenal dengan nama Shahih AL-Bukhari disusun sebagai hasil dari menemui 1.080 orang guru ahli (sarjana) dalam bidang ilmu hadits.
Dalam mengambil sebuah hadits, Imam Bukhari sangat hati-hati. Ia tidak mau asal mengambil sebuah hadits sebelum diteliti tingkat keshahihanya, kualitasnya, perawinya; adil atau tidak perawi tersebut dan hadits itu bersambung kepada Rasulullah Saw ataupun tidak. Jika hadits-hadits yang diterimanya tidak sampai mutawir, ia akan meninggalkannya, walaupun dalam periwayatannya terdapat imam atau sahabat terkenal. Karena ketelitiannya dalam menempatkan sebuah hadits, hal itu menjadikan dirinya sebagai orang yang hati-hati.
Hadits yang diakui oleh imam hadits lainnya, seperti Imam Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i dan ahmad belum tentu shahih menurut Imam Bukhari dan karena itu pula, kitab shahih Bukhari yang ditulisnya menjadi rujukan pertama bagi banyak ulama sebelum mengambil hadits shahih dari imam yang lain.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Imam Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun. Ia mengunjungi berbagai kota guna  mendapatkan keterangan yang lengkap tentang suatu hadits, baik mengenai hadits itu sendiri maupun orang yang meriwayatkannya. Di antaranya, ia melawat dua kali ke daerah Syam (Suriah), Mesir, hingga Aljazair. Kemudian, ia melawat ke Basra empat kali. Lalu, ia menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama 6 tahun dan ia berulang kali pergi ke Kufah dan Baghdad.
Dari pertemuannya dengan para ahli hadits tersebut, Imam Bukhari berhasil memperoleh hadits sebanyak 600 ribu buah dan 300 ribu di antaranya telah dihafal oleh Imam Bukhari. Hadits-hadits yang dihafalnya itu terdiri atas 200 ribu hadits yang tidak shahih dan 100 ribu hadits yang shahih.
Karena itu, dalam kitab-kitab fiqh dan hadits, hadits-hadits Imam Bukhari memiliki derajat yang tinggi. Maka, tak mengherankan jika ia menjadi ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli hadits. Banyak ahli hadits yang berguru kepadanya, seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad bin Nasr dan Imam Muslim.
Di samping terkenal sebagai penghafal hadits, Imam Bukhari juga terkenal sebagai pengarang yang produktif. Kitab Al-Jami’ as-Shahih atau Shahih Al-Bukhari merupakan karyanya yang terpenting dan terbesar dalam bidang hadits. Para ulama menilai bahwa Shahih Al-Bukhari adalah kitab hadits yang paling shahih. Karena keshahihan hadits-hadits yang dikumpulkannya, kitabnya senantiasa menjadi rujukan para ulama hadits. Bahkan, setiap hadits yang diriwayatkannya sudah tidak diragukan lagi kualitasanya.
Sesuai dengan namanya, kitab tersebut khusus memuat hadist-hadits shahih. Dari 100 ribu hadits yang diakuinya shahih, hanya 7.275 buah hadits yang dimuatnya dalam kitab itu. Jumlah inilah yang betul-betul diyakininya sebagai hadits-hadits shahih dan diakui pula oleh sebagian besar ahli hadits kenamaan. Ketelitiannya yang begitu tinggi dalam periwayatan hadits tersebut menyebabkan para ulama hadits yang hidup sesudahnya menempatkan kitab Shahih Al-Bukhari pada peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar (terkenal).
Megenai ini, seorang ulama besar ahli fiqh, yaitu Abu Zaid al-Marwazi, menuturkan, “Suatu ketika, saya tertidur di sebuah tempat (dekat Ka’bah) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Dalam tidur, saya bermimpi melihat Rasulullah Saw. Ia bertanya kepada saya, “ Hai Abu Zaid, sampai kapan kamu mempelajari kitab As-Syafi’i padahal kamu tidak mempelajari kitabku?’ Abu Zaid kembali bertannya, ‘Wahai Rasulullah, kitab apa yang dimaksud?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Kitab Jami’ karya Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari).”
Beberapa orang ulama hadits berikutnya juga telah memberikan komentar (syarah) mengenai kitab shahih Al-Bukhari. Kitab-kitab yang memuat syarah itu berjumlah 82 judul. Di antaranya yang terkenal adalah kitab Fath al-Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang terdiri atas 13 jilid. Tidak hanya hadits, Imam Bukhari juga mengarang kitab tentang akhlak, yakni kitab Al-Adah al Mufrad. Selain itu, ia juga menyusun kitab mengenai akidah, yaitu kitab Khalq Af’al al-Ibad.
Kebesaran keilmuwan Imam Bukhari diakui dan dikagumi sampai seluruh dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal Imam Muslim (seorang ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari), kedatangan Bukhari pada tahun 250 H disambut meriah. Bahkan, kedatangannya juga disambut oleh guru Imam Bukhari sendiri, yaitu Muhammad bin Yahya az-Zihli.
Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menggambarkan, ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, dirinya tidak melihat kepala daerah, para ulama dan warga kota memberikan sambutan luar biasa, sebagaimana yang mereka berikan kepada Imam Bukhari. Kemudian, terjadi fitnah yang menyebabkan Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan ia pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, Imam Bukhari juga disambut secara meriah  di Bukhara. Namun, ternyata fitnah kembali melanda. Kali ini, fitnah itu berasal dari Gubernur Bukhara, yakni Khalid bin Ahmad az-Zihli, yang akhirnya gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Samarkand (Uzbekistan) yang memerintah saat itu, yaitu Ibnu Tahir.

Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Sebelum ke Samarkand, ia singgah di sebuah desa kecil bernama Khartand untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun, di sana, ia jatuh sakit hingga akhirnya wafat pada 30 Ramadhan 256 H atau bertepatan dengan 31 Agustus 870 M.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: