IMAM MUSLIM (Imam Muhadits dari Naisabur)
Imam Muslim
bernama lengkap Imam Abdul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz
al-Qusyairi an_nisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H
atau 817 M. Saat ini, Naisabur termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam,
Naisabur dikenal dengan sebutan Ma
Wara’an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di
Uzbekistan, Asia Tengah.
Naisabur
pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama 150 tahun pada masa
Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota
Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama
besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
Kecenderungan
Imam Muslim terhadap ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi
kecerdasan dan ketajaman hafalan dimanfaatkan olehnya dengan sebaik mungkin.
Pada usia 10 tahun, Imam Muslim sering kali berguru kepada Imam Ad-Dakhili,
seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Imam Muslim mulai menghafal
hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwrayatan
hadits.
Kecintaan
terhadap hadits menuntun Imam Muslim bertualang ke berbagai tempat dan negara.
Safar ke negeri lainnya menjadi kegiatan rutin bagi Imam Muslim untuk
mendapatkan silsilah yang benar mengenai sebuah hadits. Dalam berbagai sumber,
Imam Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini, ia bertemu dan berguru
kepada Yahya bin yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray, ia berguru kepada
Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Mekah untuk menunaikan
haji pada tahun 220 H, ia bertemu dengan Qa’nabi, seorang muhadits kota ini,
untuk belajar hadits kepadanya.
Selain itu,
Imam Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz untuk belajar kepada Sa’id bin
Mansur. Di Irak, ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin
Maslamah. Kemudian, di Mesir ia berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin
Yahya. Sedangkan di Syam, ia banyak belajar kepada ulama hadits kota itu.
Tidak seperti
kota-kota lainnya, bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota
inilah, ia berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits.
Untuk terakhir kalinya, ia berkunjung pada tahun 259 H. Saat itu, ia berkunjung
ke Naisabur. Kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru
kepada Imam Bukhari.
Ketika terjadi
ketegangan antara Imam Bukhari dengan Az-Zuhali, Imam Muslim memihak Imam
Bukhari. Sehingga, hubungannya dengan Az-Zuhali menjadi putus. Dalam kitabnya,
ia tidak memasukkan hadits yang diterima dari Az-Zuhali, meskipun Az-Zuhali
adalah gurunya dan ia pun tidak memasukkan hadits yang diterima dari Imam
Bukhari, padahal Imam Bukhari juga sebagai gurunya. Bagi Imam Muslim, lebih
baik tidak memasukkan hadits yang diterimanya dari kedua gurunya itu. Tetapi,
ia tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Di antara para
guru Imam Muslim yang lain adalah Utsman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin
Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, ‘Amar
an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id al-Aili,
Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.
Diantara para
ulama yang menjadi murid dan meriwayatkan hadits dari Imam Muslim ada ulama
besar yang sebaya dengannya. Misalnya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad
bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini,
Abi Isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abdul Abbas
Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, dan Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih
az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Shahih Muslim.
Berkat
kegigihan dan kecintaanya terhadap hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang
yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj al-Khatib,
guru besar hadits di Universitas Damaskus, Syiria, menyebutkan bahwa hadits yang
tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits
tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, semuanya berjumlah sekitar
10.000 hadits.
Sementara itu,
menurut Imam Al-Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya
Imam Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan dan 7.275 dengan
pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil
saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelesaikan kitabnya, Imam Muslim
membutuhkan waktu 15 tahun.
A.
Syarat Keshahihan Hadits Imam Muslim
Imam Muslim memiliki metode
tersendiri dalam menentukan keshahihan hadits. Metode ini berbeda dengan yang
digunakan oleh Imam Bukhari. Hadits yang hendak dimuat di dalam kitabnya harus
memenuhi standar tertentu, yang biasanya disebut syarat keshahihan Imam Muslim.
Syarat keshahihan versi Imam Muslim adalah bersambung sanad di kalangan rawi
yang tsiqah dari awal hingga akhir.
Berpijak dari syarat ini, boleh dikatakan bahwa semua hadits yang terdapat di
dalam kitabnya adalah shahih. Walaupun demikian, dalam menentukan tingkat raawi
hadits, ia agak berbeda dengan gurunya, Imam Bukhari.
Ada beberapa orang rawi yang
dianggap tsiqah oleh Imam Muslim, tetapi tidak diterima oleh Imam Bukhari
berdasarkan sebab-sebab tertentu. Jika terjadi hal ini maka hadits itu disebut
shahih menurut syarat Imam Muslim. Di antara rawi tersebut adalah Abu Zubair al
Makki, Suhail bin Abi Saleh, Al-‘Ala’ bin Abdul Rahman, dan Hammad bin Salamah.
Demikian juga sebaliknya, Imam
Bukhari meriwayatkan dari beberapa orang rawi yang tidak diterima oleh Imam
Muslim. Mereka itu antara lain Ikrimah Maula Ibnu Abad, Ishak bin Muhammad
al-Fauri, Amru bin Marzuk dan lain-lain.
Selain itu, Imam Muslim dalam
menetapkan keshahihan hadits yang diriwayatkannya selalu mengedepankan ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini digunakan untuk menilai cacat atau tidaknya
suatu hadits. Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at-tahammul (metode-metode penerimaan riwayat)
Dalam kitab Imam Muslim, dijumpai
istilah haddasani (menyampaikan
kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarama( mengabarkan kepada kami), maupun qala (ia berkata), dengan metode ini, Imam Muslim dijadikan sebagai
orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk-beluknya setelah Imam
Bukhari.
Imam Muslim pun dikenal sebagai
tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan
gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini, Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi
disebut sebagai Muhsin min Naisabur
(orang baik dari Naisabur).
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Imam
Muslim adalah tsiqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka
(imam).”
Senada dengan Maslamah bin Qasim,
ImamAn-Nawani juga memberik sanjungan, “Para ulama sepakat atas kebesaran Imam
Muslim, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam
dunia hadits.”
Sebagaimana Imam Bukhari dengan Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai
Shahih Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab monumental,
yakni kitab Shahih Muslim.
Dibandingkan dengan kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim memuat 3.033 hadits yang
memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian
terhadap penjabaran hadits secara resmi. Bahkan, ia tidak mencantumkan
judul-judl di setiap akhir pokok pembahasan.
Sebenarnya, kitab Shahih Muslim
dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar yang
biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam
Muslim mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi.
Karena Imam Muslim tidak pernah mau
membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata dan
hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama, maka hadits-hadits
Imam Muslim terasa sangat Populis.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
yang lebih unggul antara Shahih Muslim
dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun
berpendapat, “Shahih Bukhari” lebih
unggul, sedangkan sejumlah ulama Maroko dan yang lainnya lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi
bila dilihat dari sisi sitematika penulisannya, serta perbandingan antara tema
dan isinya.”
Al-Hafizh Ibnu hajar mengulas
kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih
Muslim karena Imam Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang
secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung.
Sementara itu, Imam Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya
rawi dengan tidak adanya tadlis.
Imam Bukhari men-takhrij hadits yang diterima oleh para perawi
tsiqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya, walaupun ia juga
mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif.
Sedangkan Imam Muslim lebih banyak pada rawi derajat kedua dibandingkan Imam
Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Imam Muslim
lebih banyak dibandingkan Imam Bukhari.
Adapun pendapat yang berpihak pada
keunggulan Shahih Muslim beralasan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu
hajar, Imam Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya.
Imam Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yagn
dilakukan oleh Imam Bukhari.
B.
Pujian Para Ulama
Apabila Imam Bukhari sebagai ahli
hadits nomor satu, ahli tentang ilat-ilat
(cacat) hadits dan seluk-beluk hadits, serta daya kritikya yang sangat tajam,
maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam hal ilmu,
keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebab, Imam
Muslim adalah salah satu dari murid Imam Bukhari.
Al-Khatib al-Bagdadi berkata, “Imam
Muslim telah mengikuti jejak Imam Bukhari. Imam Muslim mengembangkan ilmunya
dan mengikuti jalannya.”
Pernyataan tersebut bukanlah
menunjukkan bahwa Imam Muslim hanya seorang pengikut. Sebab, ia mempunyai ciri
khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang
belum ada sebelumnya.
Imam muslim mendapat pujian dari
ulama hadits dan ulama lainnya. Al-Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad
bin Salamah, ia berkata, “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu
mengutamakan Imam Muslim bin Al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.”
Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata
kepada Imam Muslim, “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah Swt
menetapkanmu bagi kaum muslimin.”
Ishak bin Rahawaih pernah
mengatakan, “Adakah orang lain seperti Imam Muslim?” Ibnu Abi Hatim berucap,
“Imam Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits darinya di Ray.” Abu
Quraisy berkata, “ Di Dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya 4
orang. Diantaranya adalah Imam Muslim.”
Maksud perkataan Abu Quraisy
tersebut adalah Imam Muslim sebagai Ahli hadits terkemuka pada masa Abu
Quraisy. Sebab, ahli hadits sewaktu itu cukup banyak jumlahnya.
C.
Karya-Karya Imam Muslim
Sepanjang hidup Imam Muslim,
karya-karya yang berhasil ia tulis antara lain Al-Asma’ wal Kuna, Irfadus Syamiyyin, Al-Arqam, Al-Intifa bi Juludis
Siba’, Auhamul Muhadditsin, At-Tarikh, At-Tamyiz, Al-Jami’, Hadits Amr bin
Syu’aib, Rijalul ‘Urwah, Sawalatuh Ahmad bin Hambal, Thahaqat, Al- I’lal,
Al-Mukhadhramin, Al-Musnad al-Kabir, Masyayikh ats-Tsawri, Masyayikh Syu’bah,
Masyayikh Malik, Al-Wuhdan dan Ash-Shahih
al-Masnad.
Di antara kitab-kitab tersebut yang
paling agung dan sangat bermanfaat luas, serta masih tetap beredar hingga kini
ialah Al-Jami’ ash-Shahih, yang terkenal pula dengan sebutan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah
satu dari dua kitab yang palng shahih dan murni sesudah kitabullah. Kitab
shahih itu diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi,
menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan dan membandingkan riwayat-riwayat itu
satu sama lain. Imam Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan
lafazh-lafazh dan selalu memberikan isyarat adanya perbedaan antara
lafazh-lafahz itu. Dengan usaha yang sedemikian rupa, lahirlah kitab shahihnya.
Bukti konkret mengenai keagungan
kitab itu ialah suatu kenyataan bahwa Imam Muslim menyaring isi kitabnya dari
ribuan riwayat yang pernah didengarkannya. Diceritakan bahwa ia pernah berkata,
“Saya susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadits.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah,
ia berkata, “Saya menulis bersama Imam
Muslim untuk menyusun kitab shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab tersebut
berisi 12.000 buah hadits.”
Ibnu salah menyebutkan dari Abi
Quraisy al_Hafiz bahwa jumlah hadits Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah
hadits. Sebenarnya, pendapat Ibnu Salah dan Ahmad bin Salamah dapat
dikompromikan, yaitu perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang
berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung
hadits-hadits yang tidak disebutkan secara berulang.
Imam Muslim menjelaskan di dalam
kitabnya, “Tidak setiap hadits yang menurut saya shahih akan saya cantumkan di
dalam kitab saya. Saya hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati
oleh para ulama hadits.”
Imam Muslim pernah berkata seperti
ini, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya, “Apabila
penduduk bumi menulis hadits selama 200 tahun maka usaha mereka akan
berputar-putar di sekitar kitab musnad
(Kitab) ini.”
Sebenarnya, yang dimaksud kitab
musnad itu adalah kitab miliknya. Ketelitian dan kehati-hatian Imam Muslim
terhadap hadits yang diriwayatkan dalam kitabnya dapat dilihat dari
perkataannya ini, “ tidaklah saya mencantumkan suatu hadits dalam kitab ini,
melainkan dengan alasan; juga tiada saya mengugurkan sutu hadits, melainkan
dengan alasan pula.”
Imam Muslim dalam penulisan kitabnya
tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan
bab yang kita dapati pada sebagin naskah Shahih
Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang
di kemudian hari. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul
bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
D.
Meninggalnya Imam Muslim
Setelah mengarungi kehidupan yang
penuh berkah, Imam Muslim wafat pada hari Ahad sore dan ia dimakamkan di
kampung Nasr Abad, daerah naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. Ia
meninggal dunia dalam usia 55 tahun, sesuai dengan informasi yang diberikan
oleh Ibnu Khalqan.
0 Comments: