MENGENAL IMAM AL-GHAZALI

October 12, 2017 0 Comments


Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau Al-Ghazali lahir di Thus pada tahun 450 H dan ia meninggal di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H. Saat itu, ia berusia 53 tahun. Ia adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat pada Abad Pertengahan.
Al-Ghazali juga biasa disebut Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelarnya adalah Al-Ghazali ath-Thusi, yang berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu domba dan tempat kelahirannya, yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan,, Persia (Iran). Sementara itu, ayah Al-Ghazali adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba), yang dijual di kota Thusi. Menjelang wafatnya, ia mewasiatkan pengasuh kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Ia berpesan, “Sungguh, saya menyesal tidak belajar khat (tulis-menulis Arab), dan saya ingin memperbaiki sesuatu yang telah saya alami terhadap kedua anak saya ini. Maka, saya mohon anda mengajari keduanya dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya ilmu hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian, ia meminta maaf lantaran tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Ia berkata, “ketahuilah oleh kalian, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya adalah seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga, kalian memperoleh makanan yang bisa membantu kalian menjalani kehidupan.”
Al-Ghazali pu bercerita bahwa ayahnya adalah seorang fakir yang shahih. Ia tidak makan, kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Ia berkelilinng mengunjungi ahli fiqh dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya.
Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fiqh), ia menangis dan berdoa memohon diberi anak yang aqih. Jika hadir di majelis, ia menangis dan memohon kepada Allah Swt agar diberi anak yang ahlii dalam berceramah.
Kiranya, Allah Swt mengabulkan doanya tersebut. Akhirnya, Imam Al-Ghazali menjadi seorang yang faqih, sedangkan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah.
A.   Pendidikan dan Kepribadian Al-Ghazali
Al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelari Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam, yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia pun sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Al-Ghazali juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk ber-musafir dan mengembara, serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Ia telah mengembara selama 10 tahun. Sebelum itu, ia mempelajari karya ahli sufi ternama, seperti AL-Junaid. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di di daerah Islam yang luas, misalnya mekah, Madinah,Jerusalem dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang sudah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi.
Sejak kecil, Al-Ghazali telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan ia benci sifat riya’, megah, sombong, takabur dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadah, wara’, zuhud dan tidak gemar terhadap kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapatkan ridha Allah Swt.
Al-Ghazali mulai belajar saat masih kecil. Ia mempelajari fiqh dari syekh Ahmad bin Muhammad ar-Radzakani di kota Thus. Kemudian, ia berangkat ke Jurjan untuk menuntut ilmu kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili, dan menulis buku At-Ta’liqat. Selanjutnya, ia pulang ke Thus.
Al-Ghazali mendatangi kota Naisabur, lalu berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga, ia berhasil menguasai fiqh madzhab Syafi’i dan fiqh khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat dengan baik. Ia pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Ia menyusun tulisan yang membuat kagum gurunya, yaitu Al-Juwaini dan As-Subki.
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Al-Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya adalah tempat berkumpul para ahli ilmu, ia menantang debat kepada para ulama dan ia dapat mengalahkan mereka. Kemudian, Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di baghdad, lalu memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka, pada tahun 484 H, ia berangkat ke Baghdad, kemudian ia mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah dalam usia 30-an tahun. Di sanalah, ia berkembang dan menjadi terkenal. Ia pun berhasil mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pada tingkat dasar, Al-Ghazali mendapatkan pendidikan dari beberapa orang guru. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini telah mengantarnya menguasai Arab dan Persi dengan fasih. Karena minatnya yang mendalam terhadap ilmu, ia pun mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu manthiq, usul fiqh dan filsafat serta mengkaji segala pendapat keempat madzhab hingga ia mahir dalam bidang yang dibahas oleh madzhab-madzhab tersebut.
Selepas itu, Al-Ghazali melanjutkan menuntut ilmu kepada Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqh, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan dan Imam Haramaim di Naisabur. Karena AL-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, ia dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 H. Kemudian, ia dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana.
Dalam pengembaraannya, Al-Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah. Dalam bidang tasawuf, Ihya’ Ulumuddin (kebangkitan ilmu-ilmu agama) merupakan karya Al-Ghazali yang terkenal.
B.    Pengaruh Filsafat dalam diri Al-Ghazali
Pengaruh filsafat dalam diri Al-Ghazali sangat mendalam. Ia menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At-Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi, ia menyetujui filsafat dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja, kehebatannya ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Rasulullah Saw yang dapat menghancurkan filsaffat.
Kedudukan dan ketinggian jabatan Al-Ghazali itu tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan, dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga, ia menolak jabatan tinggi dan ia kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada Dzulqa’dah 488 H, ia berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H, Al-Ghazali masuk ke kota Damaskus dan tinggal di sana beberapa hari. Kemudian, ia menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama dan kembali ke Damaskus dan beri’tikaf di menara barat Masjid Jami’ Damaskus. Ia sering kali duduk di pojok tempat Syekh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang saat ini dinamai Al-Ghazaliyah). Ia tinggal di sana dan menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, Al-Arba’in, Al-Qisthas dan Mhakkun Nadzar. Ia melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Ia tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, Al-Ghazali diminta hadir dan tinggal di Naisabur. Al-Ghazali akhirnya datang ke Naisabur, lalu mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah beberapa tahun lamanya. Setelah itu, ia pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Ia mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang sufi. Ia menghabiskan sisa waktunya dengan mengkhatamkan al-Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu, serta melakukan shalat, puasa dan ibadah lainnya sampai ia meninggal dunia.
C.    Masa Akhir Kehidupan Al-Ghazali
Akhir kehidupan Al-Ghazali dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Mengenai itu, Imam Adz-Dzahabi berkata, “Pada akhir kehidupannya, Al-Ghazali tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya, serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya ia berumur panjang, niscaya ia dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Ia belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan, kecuali beberapa orang putri.”
Abu Faraj Ibnul Jauzi meyampaikan kisah meninggalnya Al-Ghazali dalam kitab Ats-Tsabat Indal Mamat, serta menukil cerita Ahmad (saudaranya); “Pada Subuh hari Senin, saudaraku, Abu Hamid berwudhu dan shalat lalu berkata, ‘Bawa kemari kain kafan saya.’ Lalu, ia mengambil dan menciumnya, serta meletakkannya di kedua matanya dan berkata, ‘saya patuh dan taat untuk menemui-MU.’
D.   Al-Ghazali, Perang Salib dan Kebangkitan Islam
Perang Salib dimulai pada tahun 1095. Pada 50 tahun pertama, pasukan Salib berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum muslim porak-poranda. Sebagian “jantung” negeri Islam, seperti Syria dan Palestina, ditaklukan. Ratusan ribu kaum muslim pun dibantai.
Selanjutnya, pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (pada tahun 1099) melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Di Masjid Al-Aqsha terpadat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum muslimin yang dibantai.
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum menganai perlakuan tentara Salib terhadap kaum muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan bahwa belum pernah seseorang menyaksikan ataupun mendengar pembantaian terhadap “kaum pagan” yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu jumlah orang-orang yang dibantai.
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum muslim ketika itu. Karena itulah, banyak orang yang mempertanyakan sikap dan posisi Al-Ghazali dalam Perang Salib dan konsepsinya tentang jihad, dalam makna qithal (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri muslim.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam madzhab Syafi’i, Al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama madzhab Syafi’i, jihad dihukumi fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum muslim, maka status jihad menjadi fardhu ‘ain.
Dalam kitab Al-jihad yang diringkas oleh Niall Christie, As-Sulami mengutip ucapan Imam As-Syafi’ dan Al-Ghazali tentang jihad. Di antaranya, Al-Ghazali menyatakan bahwa jihad dihukumi fardhu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, bila kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatan musuh, maka kewajiban jihad dibebankan pada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya.
Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, sedangkan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka seluruh kota di Syria wajib mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai.
E.    Jihad bil ‘Ilmi
AL-Ghazali bukannya tidak peduli terhadap Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keimuwan umat Islam yang sangat parah menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama seperti Al-Ghazali, berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuwan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan serta kecintaan terhadap ibadah, zuhud, dan jihad. Sebaliknya, ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan enggan berjihad di jalan Allah. Itulah yang membuat kitab Ihya’ Ulumuddin mengawali pembahasannya dengan bab tentag ilmu (kitabul ‘ilmi).
Langkah AL-Ghazali itu perlu direnungkan secara serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, Al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah hati. Rasululah Saw bersabda, “sesungguhhnya. Didalam tuuh terdapat mudghah. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan, bila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR.Muslim).
Sesungguhnya, memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman mesti dihadapi dengan serius. Pada masa hidupnya, Al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, Al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di kampungnya, Thus.
Disanalah, Al-Ghazali mendirikan satu pesantren, serta membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama, seperti Al-Ghazali, lahirlah satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada tahun 1187 berhasil memimpin pembebasan kota suci Jerusalem dari cengkraman pasukan Salib.
F.    Sisi Kedokteran Al-Ghazali
Al-Ghazali yang sering kali disebut juga Algazel merupakan salah satu sarjana yang paling terkenal dalam sejarah pemikiran Islam Sunni. Ia dianggap sebagai pelopor metode keraguan dan skeptisisme. Salah satu karya besarnya berjudul Tahafut al-Falasifah atau The Incoherence of the Philosophers. Ia berusaha mengubah arah filsafat awal Islam dan bergeser jauh dari metafisika Islam yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani Kuno dan Helenistik menuju filsafat Islam berdasarkan sebab-akibat yang ditetapkan oleh Allah Swt atau malaikat perantara sebuah teori yang kini dikenal sebagai occasionalism.
Keberadaan Al-Ghazali telah diakui oleh sejarawan sekuler, seperti William Montgomery Watt, yang menyebutnya sebagai muslim terbesar setelah Rasulullah Saw. Selain kesuksesannya dalam mengubah arah filsafat Islam awal Neoplatonisme yang dikembangkan atas dasar filsafat Helenistik, ia juga membawa Islam ortodoks ke dalam ilmu tasawuf. Al-Ghazali juga sering disebut sebagai wujud pembuktian Islam, hiasan keimanan, ataupun pembaharu agama.
Pengaruh Al-Ghazali di bidang agama maupun ilmu pengetahuan memang sangat besar. Karya-karya maupun tulisannya tak pernah berhenti dibicarakan hingga saat ini. Pengaruh pemikirannya tidak hanya mencakup wilayah di Timur Tengah, tetapi juga negara-negara lain, termasuk Indonesia dan negara Barat lainnya. Para ahli filsafat Barat lainnya, seperti Rene Descartes, Clarke, Blaise Pascal dan Spinoza, juga mendapatkan banyak pengaruh dari pemikiran Al-Ghazali.
Kebanyakan orang mengenal pemikiran Al-Ghazali hanya dalam bidang teologi, fiqh maupun sufisme. Padahal, ia merupakan seorang ilmuwan yang hebat dalam bidang ilmu biologi maupun kedokteran. Ia telah menyumbangkan pemikiran dan jasa yang besar di bidang kedoktern modern dengan menemukan sinoatrial node (nodus sinuatrial), yaitu jaringan alat pacu jantung yang terletak di atrium kanan jantung dan generator ritme sinus. Bentuknya berupa sekelompok sel yang terdapat pada dinding atrium kanan, di dekat pintu masuk vena kava superior. Sel-sel ini diubah oleh myocytes jantung. Meskipun mereka memiliki beberapa filamen kontraktil, mereka tidak berkontraksi.
Penemuan sinoatrial node oleh Al-Ghazali tampak dalam karya-karyanya yag berjudul Al-Munqidh min adh-dhalal, Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya as-Sa’adat. Bahkan, penemuan sinotrial node oleh Al-Ghazali ini jauh sebelum penemuan yang dilakukan oleh seorang ahli anatomi dan antropologi dari Skotlandia, A. Keith dan seorang ahli fisiologi dari Inggris, M.W. Flack, pada tahun 1907. Sinotrial node ini oleh Al-Ghazali disebut sebagai titik hati.
Dalam menejelaskan hati sebagai pusat pengetahuan intuisi dengan segala rahasianya, Al-Ghazali selalu merumuskan hati sebagai mata batin atau disebut juga inner eye dalam karyanya yang berjudul Al-Munqidh min adh-Dhalal, yang diterjemahkan oleh C. Field menjadi Confession of Al-Ghazali. Ia juga menyebut mata batin sebagai insting yang disebutnya sebagai cahaya Tuhan, mata hati maupun anak-anak hati.
Jika titik hati Al-Ghazali dibandingkan dengan sinotrial node maka akan terlihat bahwa titik hati sebenarnya mempunyai hubungan erat dengan sinotrial node. Ia menyebutkan bahwa titik hati tersebut tidak dapat dilihat dengan alat-alat sensoris lantaran titik ini mikroskopis. Para ahli keddokteran modern juga menyatakan bahwa sinotrial node juga bersifat mikroskopis.
Al-Ghazali menyebutkan titik hati tersebut secara simbolis sebagai cahay seketika yang membagi-bagikan cahaya Tuhan dan elektrik. Menurut gagasan modern, dalam satu detik, sebuah implus elektrik yang berasal dari sinotrial node mengalir ke bawah lewat dua atria dalam sebuh gelomang setinggi 1/10 milivolt sehingga otot-otot atrial dapat melakukan kontraksi.
Pada era modern ini, para ahli anatomi menyatakan pembentukan tindakan secara potensial berasal dari hati, yaitu kontraksi jantung yang merupakan gerakan spontan yang terjadi secara independen dalam suatu sistem saraf. Ia juga menyatakan bahwa hati itu merdeka dari pengaruh otak dalam karyanya yang berjudul Al-Munqidh min adh-Dhalal.
Sebagian besar para pemikir modern mengatakan bahwa suatu tindakan kadang terjadi melalui mekanisme yang tak seorang pun tahu mengenainya. Namun, Al-Ghazali menyatakan bahwa tindakan yang terjadi melalui mekanisme yang tak diketahui tersebut sebenarnya disebabkan oleh sinotrial node. Ia juga menjelaskan bahwa penguasa misterius tubuh yang sesungguhnya adalah titik hati itu, bukan otak.
Al-Ghazali tidak hanya menggambarkan dimensi fisik sinotrial node, tetapi ia juga menggambarkan dimensi metafisik dari sinotrial node. Hal ini jauh berbeda dengan pandangan para pemikir sekuler yang hanya mampu menggambarkan sinotrial node secara fisik semata.
G.   Anatomi dan Pembedahan
Selain menemukan sinotrial node, Al-Ghazali juga memberikan sumbangan lain dalam bidang kedokteran dan bbiologi. Catatan sejarah meneyebutkan bahwa tulisan-tulisan Al-Ghazali diyakini menjadi pendorong bangkitnya kemauan untuk melakukan studi kedokteran pada Abad Pertengahan Islam, Khususnya ilmu anatomi dan pembedahan.
Dalam karyanya The Revival of the Religions Sciences, Al-Ghazali menggolongkan pengobatan sebagai salah satu ilmu sekuler yang terpuji (mahmud) dan menggolongksn astrologi sebagai ilmu sekuler yang tercela (madhmum). Sehingga, ia sangat mendorong orang-orang yang mempelajari ilmu pengobatan.
Saat membahas tentang meditasi (tafakur), Al-Ghazali menjelaskan anatomi tubuh di sejumlah halaman buunya secara rinci untuk menerangkan posisi yang cocok guna melakukan kontemplasi dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Al-Ghazali juga membuat pernyataan yang kuat guna mendukung oang-orang untuk mempelajari ilmu anatomi dan pembedahan dalam karyanya yang berjudul The Deliverer from Error. Ia menyebutkan bahwa naturalis (al-tabi’yun) adalah sekelompok orang yang terus-menerus mempelajari alam, serta kejaiban hewan dan tumbuhan. Mereka juga sering kali terlibat dalam ilmu anatomi maupun pembedahan (ilm at tashrif dari tubuh hewan.
Melalui proses pemdedahan itu, mereka mampu merasakan keajaiban rancagan Allah Swt, serta kebijaksanaan dan keajaiban-Nya. Dengan ini pula, mereka dipaksa untuk mengakui Allah Swt sebagai penguasa alam semesta dan siapa pun bisa  mengalami kematian. Tidak seorang pun dapat belajar anatomi maupun pemedahan dan keajaiban kegunaan dari bagian-bagian oragan tubuh tanpa mengetahui kesempurnaan desain ciptaan Allah, yang berhubungan dengan struktur (binyah) hewan dan struktur manusia.
Dengan demikian, Al-Ghazali menganggap bahwa dengan mempelajari ilmu anatomi, maka manusia akan sadar dengan kehebatan Allah Swt Yang Maha Agung, sehinga hal itu membuat mausia lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dukungan kuat Al-Ghazali untuk memajukan studi tentang anatomi dan pembedahan memberikan pengaruh yang kuat dalam kebangkitan ilmu anatomi dan pembedahan yang mulai dilakukan oleh para dokter muslim padda abad ke-12 dan 13. Sejumlah dokter sekaligus ilmuwan hebat muslim yang mulai mendorong kebangkitan ilmu anatomi dan pembedahan pada masa itu antara lain Ibnu Zuht, Ibnu an-Nafis dan Ibnu Rusyd.
Sementara itu, gelar Asy-Syafi’i menujukkan bahwa Al-Ghazali bermadzhab Syafi’i ia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi, yaitu ia ingin anaknya menjadi orang alim dan shahih.

Sungguh, Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, dan ahli filsafat Islam terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jaatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tiggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir 505 H, yang bersamaan dengan tahun 1111 M. Ia meninnggal di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: