Part 3 : Kisah Tiga Jenderal

October 20, 2017 0 Comments


Hingga Maret 1966 situasi Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia belum aman. Masih banyak tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang belum tertangkap oleh aparat keamanan. Brigjen Sarwo Edhi Wibowo pun diperintah oleh Men/Pangad Letjen Soeharto untuk memimpin operasi penumpasan terhadap PKI. Sedangkan, di Jawa Timur dilancarkan Operasi Trisula di bawah pimpinan Kepala Staf Kodam VIII Brawijaya Brigjen TNI Witarmin.
Pada masa seperti itulah Supersemar lahir. Kisahnya terjadi ketika 11 Maret 1966, Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M, Jusuf dan Brigjen Amirmachmud menemui Presiden Soekrano di Istana Bogor dan kembali ke Jakarta dengan membawa surat perintah untuk Letjen Soeharto. Sepintas mereka seolah-olah hanya kurir yang membawa surat perintah tersebut. Namun, secara faktual, mereka berperan jauh lebih besar karena penyerahan surat tersebut terjadi setelah melalui perundingan yang cukup alot.

a.    Profil Tiga Jenderal
Mengapa ketiga Jenderal itu yang diutus ke Bogor? Mengapa bukan Wakli Men/Pangad Jenderal M. Panggabean?
Jawabannya: ketiga jenderal itu adalah orang-orang yang dekat dengan Bung Karno.
Presiden Soekarno memercayai Basuki Rachmat seperti yang tampak dalam karier militer Basuki. Selepas menjadi atase militer di Australia pada 1959, dia dipercaya untuk menjabat Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) di bawah presiden. Setelah itu, dia menjadi Panglima Kodam Brawijaya di Jawa Timur. Lalu, pada Februari 1966 dia  diangkat menjadi Menteri Urusan Veteran dalam Kabinet Dwikora Yang Disempurnanakn sambil merarangkap Rektor Universitas Bung Karno Cabang Surabaya.
Pada 27 September 1965, terjadi demonstrasi yang dilakukan GOW (Gabungan Organisasi Wanita), termasuk Gerwani, terhadap Gubernur Jawa Timur Kolonel Wiyono. Aksi menuntut penurunan harga beras itu berlangsung ricuh. Dalam biografi Basuki Rachmat disebutkan tujuan  demonstrasi perempuan itu konon kabarnya untuk menangkap gubernur, kemudia diarak keliling kota dan selanjutnya dibunuh.
Pangdam Basuki Rachmat tidak berada di tempat karena sedang melakukan latihan militer di luar kota. Setelah kejadian tersebut, 30 September seusai shalat ashar, dia berangkat ke Jakarta dengan pesawat Dakota. Pada malam pukul 20:00 tanggal 30 September 1965, dia melapor kepada Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani di kediamannya di Jakarta. Kedatangannya tersebut untuk melaporkan perkembangan situasi politik dan keamanan di Jawa Timur walaupun tidak diketahui secara rinci rekaman pembicaraan mereka karena terjadi beberapa jam sebelum Yani tewas ditembak.
Pada 1 Oktober 1965, dengan berpakaian preman, Basuki Rachmat bergabung ke markas Kostrad. Kecuali satu kompi yang terlibat Gerakan 30 September, Batalyon 530 Raiders dari Jawa Timur melalui Kolonel Sabirin Mochtar berhasil digiring Basuki Rachmat ke markas Kostrad. Di sana mereka mendapat jatah makanan.
Basuki Rachmat baru pulang ke Surabaya pada 4 Oktober 1965. Tidak dirinci apa saja yang dia kerjakan selama 3 hari di Ibukota dalam suasana yang sangat genting tersebut. Setelah itu, dia diangkat menjadi staf khusus Men/Pangad Letjen Soeharto.
Bagaimana dengan Brigjen M. Jusuf?
M. Jusuf lahir di Kayuaran, Bone Selatan, Sulawesi Selatan, pada 23 Juni 1928. Menurut Achadi, mantan menteri era Presiden Soekarno, Jusuf ditugasi menjadi Rektor Universitas Cabang Makassar dan Amirmachmud memimpin Universitas Bung Karno Cabang Banjarmasin.
Brigjen M. Jusuf kemudian menjadi Menteri Perindustrian Ringan sejak Juni 1965. Bahkan, Rosihan Anwar dalam sebuah artikelnya pernah mengungkapkan upaya Presiden Soekarno mengangkat M. Jusuf sebagai wakil perdana menteri keempat. Upaya sang presiden ini ditentang Jenderal Ahmad Yani sehingga melahirkan apa yang disebutnya sebagai “mosi tidak percaya” tentara terhadap presiden pada Agustus 1965.
M. Jusuf termasuk anggota rombongan Indonesia yang pergi ke Beijing, Cina, menjelang Hari Nasional Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Oktober 1965. Acara peringatan  itu berlangsung meriah. Beberapa jam kemudia, dari pihak tuan rumah, mereka memperoleh informasi bahwa di Jakarta “terjadi suatu gerakan untuk menyelamatkan Soekarno”. Secara naluriah, Jusuf memutuskan pulang malam itu juga ke Indonesia.
Karena tidak ada jadwal penerbangan saat itu, M. Jusuf berdua dengan rekannya naik kereta api secara bersambung dari Beijing menuju Guangzhou yang berjarak lebih dari 2.000 km selama dua hari satu malam, lalu menyeberang ke Hongkong. Dari Hongkong dengan naik pesawat Garuda yang bertolak dari Tokyo, Jepang mereka sampai di Jakarta.
Walaupun kunjungannya ke RRC sebagai anggota kabinet. Sesampai di Jakarta, M. Jusuf tidak melapor kepada Presiden Soekarno. Dia justru langsung menemui Mayor Jenderal Soeharto. Tanpa sempat berganti pakaian dari Bandara Kemayoran, dia langsung ke markas Kostrad. Dia beralasan bahwa tindakannya itu karena pertama-tama dia adalah anggota TNI.
M. Jusuf kemudian langsung menyatakan kesediaannya mendukung tindakan yang diambil Mayjen Soeharto. Pilhannya terseut ternyat tidak meleset. Dalam biografi Jusuf disebutkan bahwa dia satu-satunya pejabat Indonesia yang berangkat ke RRC menjelang 1 Oktober 1965 yang tidak diinterogasi aparat keamanan setelah pulang ke Jakarta.
M. Jusuf kemudian merangkap Menteri Perindustrian dalam kabinet Soeharto dan anggota Tim Bidang Politik Mayjen Soehato. Pada masa Orde Baru, dia menjadi Menteri Pertahanan dan keamanan sekaligus Panglima ABRI pada 1978-1983. Pada masa inilah dia menjadi sangat populer di kalangan. Dia mengunjungi tamtama dan bintara di pelosok-pelosk. Dia menegur sapa prajurit dan keluarganya dengan penuh kaasih, sambil merehabilitas barak prajurit. Dia bahkan menerapkan gerakan ABRI Mauk Desa (AMD) sehingga namanya sangat dikenal oleh masyarakat pedesaan lantaran kebiasaannya melakukan inspeksi mendadak (sidak).
M. Jusuf adalah tokoh militer yang memiliki integritas baik. Dia pernah memarahi di depan umum dan memindahkan salah seorang petinggi ABRI yang terbukti membagikan ransum, termasuk susu, bagi prajurit tidak sebagaimana mestinya. Lalu, ketika menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 1983-1988, dia pernah menyatakan ucapan yang terkenal, “Anggota BPK harus lebih bersih dari yang diperiksa.”  
Pada saat itulah nama M. Jusuf oleh sejumlah kalangan disebut-sebut sebagai saingan Presiden Soeharto dalam hal popularitas di mata rakyat Indonesia. Sejumlah pihak bahkan berspekulasi bahwa posisi Jusuf sebagai ketua BPK usai menjabat Menhankam/Pangab adalah upaya Soeharto untuk “menyingkirkan” Jusuf. Dalam hal ini Jusuf mengatakan, “Tidak benar itu. Saya dan Pak Harto saling menghormati dan saya orang yang menjungjung tinggi kehormatan. Untuk menghormati diri sendiri, bagi saya antara lain harus diwujudkan dengan menghormati orang lain,” ujarnya.
M. Jusuf wafat dalam usia 76 tahun pada 8 September 2004. Dia meninggal karena faktor usia. Fungsi alat-alat tubuh pentingnya merosot drastis. Dia lalu dimakamkan di pemakaman umum di Panaikang, Makassar, disamping makam putra satu-satunya, Jaury Jusuf.
Jenderal-jenderal yang dibicarakan tersebut adalah perwira yang memiliki naluri kuat dan mampu bertindak strategis. Jelas mereka dipercayai oleh Presiden Soekarno. Basuki Rachmat dan M. Jusuf menjadi anggota kabinet. Tidak mungkin Amirmachmud menjadi Pangdam di Ibukota bila dia tidak disukai oleh Soekarno. Walaupun kemudian Amirmachmud pada 1968 selaku pangdam/Pepelrada Jaya pernah mengeluarkan surat perintah agar semua dokter yang merawat Bung Karno berhubungan atau di bawah koordinasi Mayor dr. Suroyo, seorang dokter umum, bukan ketua tim dokter kepresidenan.
Musim berganti, kepercayaan yang diberikan Bung Karno mereka alihkan kepada pemimpin baru, Jenderal Soeharto. Mereka bergeser posisi pada saat yang tepat.
Jenderal Basuki Rachmat adalah tokoh yang diangkat menjadi pahlawan nasional hanya berselang sehari setelah meniggal pada 1969. Pengangkatan  itu menunjukkan eratnya persahabatan Soeharto dengan Basuki. Bahkan, ketika meninggal dunia, Soeharto melayat dua kali dalam sehari ke rumahnya.
Soeharto “membayar” jasa ketiga jenderal tersebut dengan jabatan yang lebih tinggi. Mula-mula Basuki Rachmat dijadikan Menteri Dalam Negeri. Ketika Basuki Wafat, Amirmachmud yang menggantikannya. Orang yang terakhir mendapatkan bonus istimewa adalah M. Jusuf. Berbeda dengan Amirmachmud dan Basuki yang mendapat jabatan di luar stuktur militer, Jusuf, yang sudah lebih lama menanggalkan pakaian dinas militer, menduduki kursi Menteri Perindustrian selama 14 tahun, justu diangkat memimpin ABRI.
M. Jusuf adalah sosok yang nyaris tanpa cacat, kecuali terkesan tertutup, termasuk erannya dalam peristiwa Supersemar. Dia dinilai sebagai seorang saksi sejarah yang pasa 1973 ingin memaparkan informasi yang disimpannya sejak alam. Dia juga dianggap sebagai kunci bagi apa yang dipersepsikan banyak orang bahwa Supersemar adalah kudeta yang dilakukan Soeharto terhadap Presiden Soekarno.
b.   Siapa yang berinisiatif
Soal inisiator menjadi penting untuk menjawab: benarkah Supersemar adalah aksi kudeta konstitusional Soeharto terhadap kekuasaan Presiden Soekarno?
Pelaku utama terbitnya Supersemar berjumlah 9 orang, yaitu Bung Karno, Soebandrio, Chaerul Saleh, J. Leimena, Sabut, Soeharto dan trio utusan Soeharto, yaitu M. Jusuf, Amirmachmud serta Basuki Rachmat. Kesembilan pelaku tersebut bisa dibagi ke dalam dua kelompok, kubu Soekarno dan kubu Soeharto. Pelaku kubu Soekarno tidak pernah memberi kesaksian karena mendapat banyak hambatan. Hingga awal 1970-an, mereka sudah meninggal semua kecuali Soebandrio yang masih dikurung dalam tahanan.
Sedangkan dari kubu Soeharto, setelah Basuki Rachmat berpulang, maka yang tersisa adalah Soeharto, Amirmachmud, dan M. Jusuf. Namun dari mulut ketiga saksi kunci ini sering terlontar kesaksian yang bertentangan.
Ketika memperingati 5 tahun Supersemar pada 1971 di Jakarta, Soeharto mengaku dialah yang sebenarnya menjadi penggagas Supersemar. Mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono juga mengatakan bahwa Soeharto tak terlibat dalam proses terbitnya Supersemar. Inisiatif meminta surat itu kepada Presiden Soekarno, kata Moerdiono, muncul dari tiga jenderal Angkatan Darat. “ Setahu saya itu inisiatif tiga jenderal. Mengapa? Karena mereka spontan bercerita sama,” kata Moerdioo. “ Bukan atas perintah Pak Harto.

Namun menurut Amirmachmud, inisiator Supersemar adalah M.. Jusuf; sedangkan Basuki Rachmat mengklaim dirinya sebagai inisiator. Kesaksian yang saling bertentangan ini sekaligus menggugurkan pernyataan Soeharto dan Moerdiono. Basuki Rachmat, M. Jusuf dan Amirmachmud tak pernah memberikan kisah dan kesaksian yang sama.
Bagaimanakah proses berlangsungnya kepergian mereka menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor?
Setelah Sidang Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan dibubarkan, Menteri Urusan Veteran mayjen Basuki rachmat dan Menteri Perindustrian Brigjn M. Jusuf berbincang-bincang di tangga sebelah kanan Istana Merdeka bagian barat.
Brigjen M. Jusuf dan Mayjen Basuki Rachmat berbincang-bincang serius pada saat menteri satu per satu berjalan keluar dari Istana Merdeka. Menurut pengakuan Jusuf sebagaimana ditulis Atmadji Sumarkidjo, mereka berdua sama sekali tidak tahu soal pengerahan pasukan oleh Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris, apalagi soal memo Brigjen Sabur yang menyebut adanya “pasukan liar” karena tanpa memakai identitas.
                                       Jenderal Soeharto dan Brigjen M. Sabur

Tak lama kemudian, Pangdam V/Jaya Brigjen Amirmachmud bergabung dengan mereka. Mereka bertiga akhirnya sepakat untuk mendatangani rumah Men/Pangad Letjen Soeharto di jalan Agus Salim 98 Jakarta. Ketiga jenderal itu melapor kepada Soeharto, yang tak bisa hadir dalam sidang kabinet dengan alasan sakit, tentang apa yang terjadi di istana Bogor menggunakan helikopter. Kemudian, mereka berangkat ke Bogor untuk menyampaikan pesan Soeharto kepada Soekarno.
Pesan Letjen Soeharto sangat gamblang: dia bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan diberikan oleh Presiden. Seuai pengakuan M. Jusuf, sebagaimana dikutip A. Pambudi, “Pak Harto bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan diberikan kepada beliau, untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura.
Namun, menurut Kemal Idris, dalam biografi maupun wawancaranya dengan tabloid Detak, Letjen Soeharto tidak sekedar menitip pesan, tetapi juga menulis surat untuk Presiden Soekarno. Isi surat itu: “saya tidak akan bertanggung jawab kalau saya tidak diberi kekuasaan untuk mengatasi keadaan ini.”
Surat itu, menurut Kemal Idris, akan diantarkan oleh Basuki Rachmat, sebagai orang kepercayaan Soeharto. Akan tetapi, karena Basuki tak disenangi oleh Soekarno, dia ditemani dua jenderal lain yang dekat dengan Soekarno, yaitu Amirmachmud dan M. Jusuf. Sayangnya, pernyataan Kemal tentang surat Soeharto kepada Soekarno ini tidak disebut-sebut oleh Amirmachmud, M. Jusuf, maupun Soeharto.
Lantas, apa kata Soeharto perilah kejadian pada 11 Maret 1966 itu?
A. Pambudi mengutip pernyataan Soeharto,
“Menteri Veteran Mayjen Basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen M. Jusuf dan Pangdam V/Jaya Brigjen Amirmachmud datang di rumah saya, diajaln Agus Salim. Dalam keadaan flu berat, batuk-batuk dan tidak bisa bicara keras, saya terima mereka. Saya mengenakan piyama dan leher dibebat dengan kain angkin milik saya.”

Soeharto juga bertutur:

“Sebelum berangkat, ketiga jenderal itu minta izin saya dan bertanya apa pesan saya. Saya jawab, ‘Sampaikan salam dan hormat saya kepada Bung Karno. Laporkan, saya dalam keadaan sakit. Kalau saya diberi kepercayaan keadaan sekarang ini akan saya atasi.’ Dengan pesan itu ketiga jenderal berangkat ke Bogor dan pada malamnya mereka sudah datang kembali di rumah di Jalan Haji Agus Salim dengan menyerahkan surat perintah dari Presiden Soekarno.’
Lantas, siapakah yang berinisiatif menyusul Presiden Soekarno ke Bogor dan memintas surat perintah?
Menurut M. Jusuf, dia dan dua jenderal lainnya ditugaskan oleh Letjen Soeharto. Namun, menurut versi Soeharto, “kemudian ketiga Jenderal itu mengambil inisiatif untuk menyusul Bung Karno ke Bogor dengan maksud menemui Bung Karno agar lebih tenteram dan sekaligus menunjukkan kepada beliau bahwa Angkatan Darat tidak mengucilkannya.”
Akan tetapi, menurut Brigjen M. Jusuf, pesan yang disampaikan kepada Bung Karno dari Pak Harto adalah lebih spesifik, yaitu, “ bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura...”
Manakah yang benar?
Sebagai perbandingan, mari kita lihat pengakuan Kemal Idris,
kejadian di istana itu dilaporkan ke Soeharto. Terus, Pak Harto tulis surat ke Soekarno bahwa dia tidak bisa bertanggung jawab kalau Soekarno tidak memberikan kekuasaan kepada dia untuk mengatasi keadaan. Soeharto menyuruh Basuki Rachmat membawa surat itu ke Istana Bogor. Tapi, Basuki Rachmat itu bukanlah kawan atau orang yang disenangi Soekarno. Basuki mengajak Andi Jusuf dengan Amirmachmud karena dua orang itu dipercaya Soekarno.”
Kemal Idris bahkan menolak anggapan bahwa waktu itu Letjen Soeharto sedang sakit. “ah...kata siapa. Dia sehat walafiat. Saya kan datang ke rumahnya. Dia sehat,” ujarnya.
Namun demikian, Kemal tidak menyebut surat dari Soeharto itu sebagai konsep surat perintah yang akan diajukan kepada Presiden Soekarno. “Enggak, enggak, bukan konsep Supersemar. Suratnya itu menyatakan, kalau Soeharto tidak diberikan kewenangan untuk mengambil tindakan mengamankan keadaan di jakarta, dia enggak mau tanggung jawab kalau keadaan kacau,”  katanya.
Adanya dugaan bahwa sebelum berangkat ke Bogor, ketiga jenderal utusan Letjen Soeharto itu menyiapkan senjata. Dalam ceita versi Amirmachmud dikatakan bahwa M. Jusuf mengusulkan agar mereka membawa senjata. Bahkan, Jusuf katanya mengusulkan agar mereka membawa senjata otomatis sten gun. Mengenai hal ini, Jusuf mengatakan bahwa dia tahu apa peraturannya jika menghadap presiden. Dia mengaku mempunyai senjata, tetapi senjata itu disimpan di rumahnya dan tak pernah dibawa-bawa.
c.    Negosiasi di Paviliun Hartini
Menurut kesaksian Mangil Martowidjojo ketiga jenderal utusan Letjen Soeharto tiba di Istana Bogor dengan naik helikopter.
“Beberapa saat kemudian, saya mendengar ada sebuah helikopter yang terbang di atas halaman Istana Bogor dan kemudian mendarat di halaman. Saya amati dari pavilun yang turun adalah Dr. Soebandrio dan Bapak Chaerul Saleh, masing-masing dengan ajudannya. Tidak lama saya mendengar lagi ada helikopter yang akan mendarat di halaman Istana Presiden di Bogor. Waktu itu menjelang sore, sekitar pukul 15:00. Saya amati dari depan paviliun yang turun dari helikopter adalah Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran, Jenderal M. Jusuf, Menteri Perindustrian dan Jenderal Amirmachmud, Panglima Kodam V Jaya. Beliau terus menuju paviliun di mana saya telah siap untuk menerima beliau. Kemudian, saya persilahkan beliau duduk di kursi yang memang untuk tamu di depan teras paviliun saya.”
Kesaksian Mangil sesuai dengan kesaksian Brigjen M. Jusuf yang mengaku bahwa dirinya bersama Brigjen Amirmachmud dan Mayjen Basuki Rachmat tiba di Istana Bogor setelah para ajudan dan pengawal Presiden Soekarno datang. Mereka terpaksa harus menunggu karena saat itu sang presiden sedang tidur. “Barulah sekitar pukul 14:30 kami bertiga dipanggil,” kata Jusuf. Ketiganya diterima Soekarno di paviliun Ny. Hartini tinggal. Di sinilah terjadi dialog dan negosiasi yang melahirkan Supersemar.
Mangil mengaku bahwa dia kemudian menghubungi Brigjen M. Sabur yang segera datang menemui 3 jenderal tersebut. Setelah berbincang-bincang dengan mereka, Sabur terus menuju ke paviliun. Presiden Soekarno. Di sana sang presiden sedang beristirahat. Beberapa saat kemudian, Sabur datang lagi dan mempersilahkan para jenderal itu datang ke paviliun presiden.
Kira-kira waktu maghrib Sabur datang ke paviliun sementara Mangil dengan tergesa-gesa sambil membawa kertas dan berkata kepada para anggota staf ajudan presiden bahwa dia memerlukan mesin ketik dan kertas. “Gua mau bikin surat perintah ni,” kata Sabur.
Mangil tidak memerhatikan apa yang diketik Sabur. Mangil tetap duduk di kursi. Setelah Sabur selesai mengetik, dia terburu-buru kembali ke paviliun presiden. Kata Mangil, waktu itu Sabur kelihatan sangat bangga. Maklum, selain menjadi Ajudan Presiden dan Komandan Pasukan Pengawal Presiden RI Resimen Cakrabirawa, Brigjen M. Sabur adalah Sekretaris Militer Presiden.
Mangil berkata lagi, “Sekitar pukul 20:00 ketiga jenderal itu meninggalkan paviliun Istana Bogor kembali dengan mobil. Setelah itu, tidak ada kegiatan lagi/tidak ada tamu untuk bapak Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Mari kita konfrontasikan kesaksian Mangil dengan kesaksian Letkol Ali Ebram, orang yang mengaku mengetik naskah Supersemar.
Menurut Ebram, dirinya tiba di Istana Bogor dari jakarta sesuai mengikuti jalannya Sidang Kabinet pada 11 Maret 1966. Tak lama kemudian, datanglah petugas dari pos jaga yang melapor, “Pak, ini ada jenderal mau masuk.”
Ebram menjawab, “Ya sudah, biarkan masuk.”
Dia lalu menemui dan bertanya, “ Mau apa, pak?”
“Saya mau bertemu Sabur.”
Lalu saya bilang, “Harap lapor posko dulu!”
“Enggak perlu, saya mau ketemu Sabur,” jawab Brigjen Amirmachmud.
“Ya sudah, silahkan ketemu, itu rumahnya di belakang.”
Kata Ebram, ketiga jenderal itu datang di Istana Bogor tanpa menggunakan helikopter, melainkan naik mobil. “saya kok enggak ingat persis ya. Kalau enggak salah mereka dua mobil. Tapi, datangnya bersamaan. Satu datang, lalu disusul di belakangnya. Selisih waktunya tak jauh,” ujar Ebram.
Pengakuan Ebram ini sesuai dengan kesaksian M. Jusuf, dan bertentangan dengan kisah yang diceritakan Amirmachmud bahwa ketiga jenderal menggunakan helikopter  ke Istana Bogor. Kata Jusuf, dirinya memegang setir jip yang mereka kendarai bertiga.
Ketiga jenderal itu lalu bertemu Brigjen Sabur. Kedatangan mereka segera dilaporkan oleh Sabur kepada Presiden Soekarno. Tak lama kemudian, mereka dipersilahkan masuk paviliun Ibu Hartini.
Tak lama kemudian, Ebram dipanggil oleh Sabur.
“Kamu dipanggil Bapak,” kata Sabur
Ebram mengaku ikut masuk ke paviliun Ibu Hartini, tapi dia diam saja di sana. Pada saat itulah dia mendengar salah satu jenderal berkata, “Pak, berikan perintah pada Soeharto biar aman.”
Kata Ebram, “Amirmachmud yang ngotot agar Bapak membuat surat untuk Soeharto.”
Pembicaraan berlangsung cukup lama. Amirmachmud yang banyak bicara. “Sudah, bapak bikin saja! kata Amirmachmud sambil berdiri, padahal Bung Karno hanya duduk dengan kepala bersandar pada kursi.
Melihat sikap seperti itu, Ebram marah. “Hee, yang sopan dong, Jenderal!”
Namun, kata ebram, “Eh, saya justru dimarahi Bapak. Saya dijawil dan diajak masuk ke belakang. Pipi saya ditempeleng. Kata Bapak, ‘kamu itu pembantuku, jangan ikut-ikut! Kamu diam saja!”
Ebram mengaku saat itu langsung terdiam. Dia kemudian keluar dari paviliun dan kembali ke pos jaga. Dia masih marah, bukan kepada Presiden Soekarno karena ditempeleng, melainkan marah melihat sikap Brigjen Amirmachmud. “Waktu melihat tingkah Amir itu, saya sangat marah. Rasanya sudah ingin merogoh pistol saja. kalau tidak ada Bapak, enggak tahu apa yang terjadi,” kata Ebram.
Menurut Amirmachmud, jam menunjukkan 15:30 tatkala ketiga perwira ABRI itu diterima presiden di Istana Bogor. Bung Karno baru saja bangun dari tidur siang. Dia hanya mengenakan celana setengah lutut, berkaos oblong putih.
“Ada apa kamu kemari?” tanyanya.
Basuki Rachmat selaku juru bicara berdiri tegak menyampaikan maksud kedatangannya dan pesan dari Letjen Soeharto.
“Jadi, bagaimana cara mengatasinya?” kata Soekarno.
Ah, gampang saja, Pak. Perintahkan saja kepada Pak Harto,” Amirmachmud menyahut dengan polos.
“Caranya? Caranya yang saya tanyakan,” kata Soekarno dengan nada marah.
“Tunjuk saja kami sebagai panitian,” sahut Amirmachmud.
Usai maghrib, semua berkumpul di paviliun Istana Bogor, tempat tinggal Ny. Hartini, di depannya, ketiga wakil perdana menteri dan di belakangnya ketiga jenderal dari Jakarta. Brigjen Sabur menyerahkan kopi naskah surat perintah..
Menurut kesaksian Amirmachmud, menjelang penandatanganan surat perintah, Brigjen M. Sabur berkata kepada Presiden Soekarno, “Secara teknis administratif, Pak, ini tidak bisa dipertanggungjawabkan karena permulaan kalimat pada halaman kedua tidak tercantum pada bagian bawah halaman pertama.
Soekarno kaget, lalu memandangi ketiga jenderal itu. Sebelum Bung Karno berkomentar, Amirmachmud berkata, “Buat apa persoalan teknis-teknisan itu? Ini kan dalam revolusi. Kita ini semua sudah menjadi saksi-saksinya!”
Setelah dibaca berulang-ulang, tampaknya Bung Karno ragu. Dia tercenung sejenak hingga Amirmachmud menyeletuk “Teken saja, Pak. Bismillahirrahmanirrahim.”
“Iya, Pak. Bismillah!” dukung Hartini.
Amirmachmud mengungkapkan peristiwa itu demikian,

Naskah tersebut dibaca oleh Bung Karno secara tekun dan tenang. Kemudian beliau bertanya, ‘Bagaimana ya, saya tandatangani atau tidak? Berulang kali beliau menanyakan dengan kalimat sebagai berikut, ‘Saya tandatangani atau tidak?’ Hal ini ditanyakan juga kepada anggota Presidium. Mengingat bahwa dengan adanya keragu-raguan dari Bung Karno, masalahnya bisa buyar kembali.”

M. Jusuf mengakui adanya ketegangan dalam pembicaraan dengan Soekarno, antara pukul 14:30 – 17:30. Ketiga jenderal yang waktu itu dinilai cukup dekat dengan Soekarno berani beradu argumentasi dengan sang presiden. Jusuf mengakui, apa yang diperbincangkan adalah masalah yang menentukan bagi peralihan dari masa lama ke masa baru.
Semua wakil perdana menteri akhirnya setuju agar Presiden Soekarno menandatangani naskah itu. Dengan mengucap “Bismillah”, Bung Karno menandatangani naskah itu. Maka, lahirlah Surat Perintah 11 Maret 1966 pada hari Jumat sesudah Maghrib. Sesudah maghrib merujuk pada pukul 18:30-19:00. Akan tetapi, menurut catatan . Jusuf, Supersemar ditandatangani Bung Karno pada pukul 20:55. Setelah dilihat sebentar, surat perintah itu lalu diserahkan oleh Bung Karno kepada Mayjen Basuki Rachmat tanpa ada komentar sama sekali.
d.   Mereka Kembali ke Jakarta
Dari Bogor, ketiga jenderal itu kembali ke Jakarta dengan menggunakan mobil. Menurut M. Jusuf, rombongan langsung menuju Letjen Soeharto di Jalan Agus Salim. Sebaliknya, menurut Amirmachmud, mereka menuju markas Kostrad.
Di tengah perjalanan, ketika rombongan tiba di Jembatan Satu Duit, Bogor, Amirmachmud meminjam surat itu dari tangan Basuki Rachmat. Dengan bantuan lampu senter, dia membacanya kata per kata, “Lho, Pak, ini ‘kan penyerahan kekuasan kepada Pak Harto?” kata Amirmachmud sedikit berteriak.
M. Jusuf dan Basuki menjawab, “Ya, ya, penyerahan kekuasaan.”
Ketika pada 12 Maret 1966 Letjen Soeharto membubarkan PKI dengan bekal Supersemar itu, Presiden Soekarno pun marah mendengarnya. Untuk menyampaikan teguran keras, dia mengutus Dr. J. Leimena menemui Soeharto sambil membawa surat penjelasan tentang Supersemar. Surat lanjutan ini tertanggal 13 Maret 1966. Ketiga jenderal yang menemui Bung Karno di Bogor pun disebut-sebut dipanggil kembali. Kata salah seorang jenderal it, “Kita bertiga mendapat perintah untuk menghadap lagi kepada Bung Karno di Bogor, Kita dimaki-maki,”
Pada waktu itu Bung Karno berkata, “Kamu salah memberitahukan kepada Soeharto. Salah menjelaskannya. Tidak ada tercantum pembubaran PKI di dalam instruksi itu.”

Teguran keras Presiden ini diakui oleh Soeharto. Dalam suatu briefing pada  14 Maret 1966, Soeharto mengutip kata-kata presiden Soekarno yang mengatakan, “saya perintahkan untuk kembali kepada pelaksanaan surat perintah Presiden/Pangti/Mandataris/Pemimpin Besar Revolusi, denga arti melaksanakan keputusan di luar bidang teknis.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: