Part 4 : Detik-Detik Lahirnya Supersemar

October 21, 2017 0 Comments


Pada 11 Maret 1966, setelah berunding di rumah Menteri/ Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto di  Jalan H. Agus Salim, Jakarta, ketiga orang jenderal menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pada malam harinya, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Kesaksian mantan Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio menggambarkan adanya unsur tekanan oleh Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen M. Jusuf kepada Presiden Soekarno. Menurut Asvi Warman Adam, Supersemar memang tidak diberikan lewat todongan senjata, tetapi di sini jelas terlihat unsur keterpaksaan Soekarno untuk mengeluarkannya. Soebandrio, kata Avi, menyimpulkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965-11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto melalui 4 tahap. Pertama, menyingkirkan saingannya di Angkatan Darat, antara lain Jenderal Ahmad Yani. Kedua, membubarkan PKI, yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang Soekarnois, termasuk Soebandrio. Keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Berikut ini adalah detik-detik lahirnya Supersemar dan kontroversinya yang melingkupinya.
A.  Jenderal Panggabean Ikut ke Bogor?
Sekitar pukul 14:00, sebuah helikopter mendarat di halaman Istana Bogor. Dari dalamnya turun Basuki Rachmat, M. Jusuf, dan Amirmachmud. Semua berseragam militer. Mereka langsung menuju paviliun tempat para pengawal presiden. Di sana mereka disambut oleh Brigjen M. Sabur.
“Bur, kami datang ingin ketemu Bapak,” kata Brigjen Basuki Rachmat.
“Bung Karno sedang istirahat,” Jawab Sabur.
“Kalau begitu kami tunggu.”
Kira-kira pukul 14:30 Sabur menemui mereka lagi dan mengatakan bahwa Bung Karno bisa ditemui ketiga jenderal lalu dibawa masuk ke paviliun Hartini, istri Bung Karno. Waktu itu sang presiden hanya mengenakan celana santai dan kaus oblong putih.
“Mau apa kalian ke sini?” tanya Bung Karno.
Mewakili yang lain, Basuki Rachmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan berbicara, “ kami sengaja datang menemui Bapak untuk menunjukkan bahwa kami tidak meninggalkan bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa ditinggalkan oleh Angakatan Darat. Kami menyesalkan terjadinya peristiwa tadi pagi. Tapi, kami harap Bapak Presiden tidak terpengaruh oleh kejadian ini.”
“Apa? Kalian bilang aku jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah?” ujar Bung Karno. “Kau mengatakan Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu, Angkatan Darat ikut demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan anggota RPKAD dan Kostrad di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa kalau bukan untuk menyerang saya?”
Sedangkan, menurut kesaksian seorang mantan menteri di Kabinet Dwikora yang enggan disebut namanya, Bung Karno pernah bercerita kepadanya perihal lahirnya Supersemar. Ketiga jenderal itu meminta agar Soeharto sebagai Kepala Staf Komando Tertinggi (Kaskoti) diikuti dalam mengatasi keamanan. Bung Karno, ujar sang mantan menteri, pun setuju. “Ya sudah, bikin saja surat perintah itu,” kata Bung Karno.
Surat perintah selesai dibuat dan Bung Karno menunjukkannya kepada Dr. Soebandrio dan Chaerul Saleh. Terus, Bung Karno menandatangani. Jadi, tidak ada suasana licik-licikan. Bung Karno percaya kepada ketiga jenderal itu karena semuanya rektor Universitas Bung Karno. Sementara itu, Soeharto diusulkan Komando Operasi Tertinggi dan anggota tim keamanan. Jadi, tidak ada pikiran saat itu bahwa Pak Harto akan nakal-nakalan. Maka, kata sang mantan menteri, kalau ada yang mengatakan diaog dengan Bung Karno memakai todongan pistol, itu tidak betul karena pada prinsipnya yang datang adalah teman-teman sendiri.
Bagitulah antara lain pertemuan awal ketiga jenderal dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ya, tiga jenderal. Namun, menurut kesaksian mantan Kepala Keamanan Istana Bogor Lettu Soekardjo Wilardjito, ada 4 jenderal yang datang ke sana. Menurutnya, pada 11 Maret 1966 pukul 01:00, empat orang perwira menemu Bung Karno, termasuk Wakil Men/Pangad Brigjen Maraden panggabean.
Kesaksian Wilardjito ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Penunjukan waktu itu sangat berbeda dengan kesaksian Amirmachmud, Basuki Rachmat, M. Jusuf, Soebandrio, Mangil Martowidjojo, Ali Ebram, bahkan Soeharto. Jika empat jenderal tiba di Bogor pada dinihari, kapankah Supersemar ditandatangani? Bukankah pada 11 Maret pagi hari Presiden Soekrano sudah berada di Istana Merdeka untuk memimpin Sidang Kabinet Dwikora yang Disempurnakan?
Kesaksian Wilardjito juga tidak didukung oleh dugaan pendukung, semisal sosok pengetik naskah Supersemar. Artinya, penglihatan Wilardjito tentang kehadiran Panggabean tidak serta bisa menunjukkan bahwa ada empat jenderal yang meminta agar Presiden Soekarno membuat surat perintah untuk Letjen Soeharto.
Dalam soal Wilardjito A.M. Hanafi, mantan Duta Besar RI di Kuba, melalui buku A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto, membantah kesaksian Wilardjito. Menurutnya, pada malam itu Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinnya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap di istana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. Hanafi hadir dalam Sidang Kabinet bersama Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh,
Menurut Hanafi, hanya tiga jenderal yang pergi ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno yang sudang berangkat ke sana terlebih dahulu. Amirmachmud, kata hanafi, sebelumnya menelpon Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, meminta izin untuk datang ke Istana bogor.
Yang menarik adalah pengakuan hanafi bahwa ketiga jenderal itu sudah membawa satu teks surat perintah. Namun, Presiden Soekarno tidak ditodong oleh mereka karena mereka datang baik-baik. Sementara itu, di luar istana sudah banyak demonstran dan tank-tank baja. Mengingat situasi yang seperti itu, kata Hanafi, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi, Jenderal M. Panggabean tidak hadir di Istana Bogor pada 11 Maret 1966.
B.  Pengetikan Surat Perintah
Siapa sebenarnya yang mengetik Supersemar?
Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram yang saat itu menjabat Staf Asisten I Intelijen Resimen Carrabirawa. Ebram mengaku bahwa dirinyalah yang mengetik surat tersebut dalam waktu satu jam dengan didiktekan Presiden Soekarno. Dia mengetiknya dengan tangan gemetar dan mengatakan bahwa konsep surat perintah itu berasal dari Bung Karno.
Menurut kesaksian Ebram, sekitar pukul 15:00, dia dipanggil Brigjen M. Sabur dan diperintahkan membawa mesin ketik sekaligus mencari kertas berkop kepresidenan, untuk dibawa masuk ke ruang tengah pavilin Hartini. Di situlah Ebram mengetik setiap kalimat yang diucapkan Presiden Soekarno. Setelah pengetikan selesai, dua lembar hasilnya dibawa Soekarno kepada tiga jenderal, yang menunggu di ruang lain.
Kesaksian Ebram ini cocok dengan penuturan Amirmachmud, bahwa ketika menerima para jenderal, Bung Karno masuk kamar lagi dalam wwaktu cukup lama. Mungkin saat itu dia tengah mendiktekan naskah awal Supersemar.
Kata Ebram, “Saya dipanggil Sabur, kalau dibilang kepercayaannya, ya bukan. Tapi, pak Sabur itu, kalau ada hal-hal yang rahasia, biasanya manggil saya,” tukas Ebram.
Waktu itu Sabur dari paviliun Hartini memanggil Ebram dengan menggunakan isyarat tangan.
“Apa?” tanya Ebram.
“Mrene dobol (ke sini sialan)!” bentak Sabur.
Tenryata Sabur meminta Ebram membantu untuk mengetik surat.
“Saya tidak bisa ngetik,” ujar Ebram.
Akan tetapi, Sabur memaksa. “Sudahlah, ikut saja. bantu Saya.”
Ebram lalu disuruh mencari blangko surat yang berkop kepresidenan. “Lho, di Jakarta dong!” jawabnya.
Sabur berkata lagi, “Sudah, cari saja!”
Menurut Ebram, blangko itu akhirnya didapatkan pada sekitar pukul 15:00. Dia dan Sabur lalu masuk ke kamar pribadi Bung Karno. Sementara tiga jenderal menunggu di ruang tamu.
Ebram mengatakan, “Saya yang mengetik, sedang Sabur duduk di samping saya. Bung Karno mondar-mandir sembari mendikte. Bapak waktu itu tidak pakai baju kebesaran. Baju santai, celana dan tidak pakai peci. Ketika mengetik, gemetar saya.
Menurut Ebram. Surat perintah itu terdiri dari dua halaman. “Enggak muat kalau Cuma satu halaman. Spasinya itu berapa? Bapak itu orangnya correct. Jangan main-main sama beliau,” katanya.
Waktu itu kertas lembaran pertama sudah tidak cukup. “pak, kertasnya hampir habis,” kata Ebram.
Wis, dijembleng wae (Sudah, dimolorkan saja)!” jawab Bung Karno.
Lalu, Ebram memasukkan kertas kedua. lama pengetikan satu jam lebih. Begitu selesai, dia menyerahkan surat itu kepada Sabur yang lantas memberikannya kepada Bung Karno di ruang tamu.
“Itu dibaca Bapak lama sekali sambil merenung. Bapak ‘kan masih ragu. Diam. Begitu bapak bilang, ‘Pulpen!’, saya tinggal. Saya keluar dari ruangan itu menuju ke rumah komando. Tapi, saya masih sempat dengar Amirmachmud bilang, ‘Iya, Bapak tanda tangan saja. kenapa sulit-sulit!”
Apakah pengakuan Ali Ebram benar adanya?
Kolonel Sumirat, salah satu ajudan Presiden Soekarno dari unsur kepolisian, mengaku mengenal Ali Ebram. “Dia termasuk stafnya Jenderal Sabur di Resimen Cakra. Bagaimana kalau enggak salah bagian intel. Hubungan Ali sama Sabur dekat. Sabur itu lebih banyak di kantor Resimen Cakra. Nah, saya enggak pernah tahu bagaimana hubungannya. Tapi, saya kadang lihat Ali Ebram ada di Istana Merdeka. Dia itu bisa di mana-mana,” katanya.
Adapun Soebandrio, yang mengaku turut mengoreksi naskah Supersemar bersama Chaerul Saleh, menyebut bahwa naskah itu diketik oleh seorang staf di Istana Bogor. Siapakah staf itu? Soebandrio berkata, “ndak tahu. Di sana kan banyak staf. Bung Karno tinggal menyuruh, ‘Ketik ini.”
C.  Benarkah Ada Koreksi
Soebandrio mengatakan,

“Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amirmachmud dan M. Jusuf duduk di depannya. Lantas, saya disodori surat yang dibaca oleh Bung Karno: sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa, tetapi intinya ada 4 hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu, harus dijalin kerja sama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya. Kedua, penerima mandat wajib melapor kepada Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden serta keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran-ajaran Bung Karno..”

Soebandrio bersaksi bahwa dirinya, Chaerul Saleh, Amirmachmud, Basuki Rachmat dan M. Jusuf disuruh oleh Bung Karno untuk membaca setelah surat perintah itu selesai diketik. “Kita disuruh bilang mana yang setuju dan mana yang tidak setuju” kata Soebandrio.
Soebandrio dan Chaerul Saleh lalu melakukan pencoretan dan penambahan kata-kata, kemudian diberikan kembali kepada para perwira tinggi itu untuk dibaca kembali. Giliran para jenderal yang tidak puas dengan konsep kedua wakil pedana menteri itu dan meminta dilakukannya perbaikan kembali.
Kata M. Jusuf, “Selesai Bung Karno membaca konsep tersebut, diadakanlah pencoretan di sana-sini pada kata-kata yang tidak dikehendakinya. Sementara Dr. Soebandrio dan Chaerul Saleh juga ikut mengadakan perubahan-perubahan. Akibatnya, kami bertiga dengan Jenderal Basuki Rachmat dan Amirmachmud tidak puas dengan perubahan-perubahan yang dikehendakinya itu...”
Pengakuan Soebandrio juga menguatkan adanya naskah pertama tersebut. Soebandrio mengaku dipanggil Soekarno untuk membaca dan meneliti naskah ketikan sebanyak dua lembar tersebut.
Hasil koreksi yang masih dua lembar itu kemudian diberikan kepada Brigjen M. Sabur untuk diketik kembali. Saksi  mata yang melihat sabur mengetik adalah Mangil Martowidjojo. Sekita menjelang Maghrib, dia mengaku melihat Sabur datang ke paviliunnya dengan membawa kertas dan berkata bahwa dia memerlukan mesin tik. Saat itu Sabur berkata, “Gua mau bikin surat perintah nih.”
Setelah diketik, naskah itu dibawa kembali ke paviliun Hartini. “Dari dialog kedua itulah tersusun draf Supersemar seperti kita kenal sekarang,” kata M. Jusuf.
Namun, Amirmachmud mengakui setelah naskah dua lembar yang diketik Sabur itu diserahkan kepada Soekarno, sang presiden masih enggan menandatanganinya. “Bagaimana ya, saya tanda tangani atau tidak? Ucap Soekarno berkali-kali meskipun akhirnya, menurut Jusuf, pada pukul 20:55 sang presiden membubuhkan tanda tanganya.
D.  Soekarno ditodong Pistol?
Apakah Presiden Soekarno ditodong agar menandatangi Supersemar?
Jawabannya, ya. Setidaknya, begitulah menurut pengakuan eks Kepala Keamanan Istana Bogor Lettu Soekardjo Wilardjito. Dalam peristiwa lahirnya Supersemar, dia menyebutkan perihal keterlibatan Jenderal M. Panggabean serta penodongan terhadap Bung Karno sebelum penandatanganan surat perintah itu dilakukan.
Soekardjo pada malam itu bertugaa piket di Istana Bogor. Sekitar pukul 01:00 pasa 11 Maret 1966, dia kedatangan beberapa jenderal. Dia mengetuk pintu kamar Presiden Soekarno. Begitu Bung Karno keluar, Brigjen M. Jusuf segera menyodorkan sebuah map merah jamu dan pulpen biru muda. Brigjen Basuki Rachmat langsung menodongkan pistol FN-46 yang telah terkokang di dada Bung Karno.
Soekardjo segera mengeluarkan pistolnya, tetapi dia dihentikan Bung Karno. “Jangan-jangan...” katanya.
Soekardjo pun menyarungkan pistolnya. Dalam jarak tiga meter dia melihat surat itu sudah diketik dan tinggal ditandatangani.
Menurut Soekardjo, Presiden Soekarno kemudian menandatangani surat itu. Kemudian, Bung Karno berpesan kepada para jenderal itu bahwa kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan lalu bubar dan  keempat perwira tinggi itu kembali ke jakarta.
Bung Karno kemudian berkata kepada Soekardjo, “Saya harus keluar dari istana dan kamu harus berhati-hati.”
Setengah jam kemudian, Istana Bogor diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad. Lettu Soekardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti. Semua surat-surat disita, antara lain surat kenaikan pangkat, surat tanda jasa (KOM I, KOM II), surat tugas dan ijazah pendidikan militer. Kemudian, Soekardjo ditangkap, ditahan dan diberhentikn dari dinas militer.
Kata Soekardjo, “Saya dibawa ke Rutan Militer (RTM) Lapangan Banteng jakarta dan dituduh PKI. Kemudian, saya dipindah ke rutan lain sampai enam kali. Siksaan berat pun saya terima. Malahan, siksaan itu pernah saya alami di Denpom Yogyakarta. Kemaluan saya sempat disetrum, tubuh digebuki. Tapi, yang paling menyakitkan saat dicambuk dengan cambuk yang terbuat dari kemaluan sapi jantan, sakitnya sampai terasa ke tulang sumsum.”
Terakhir, Soekardjo menghuni rutan di Ambon, Maluku. Dia baru dibebaskan pada 1978 dengan status Tapol Golongan B. Saat dibebaskan, dia sama sekali tidak mengantongi uang sepeser pun untuk pulang. Padahal, jarak Ambon dan Yogyakarta tidak bisa ditempuh dengan hampa. Namun, untunglah, beberapa teman yang dia kenal saat masih aktif dan menjabat Komandan Seksi Keamanan Penguasa Perang Daerah Maluku dan Irian Barat (Peperda MIB) banyak membantunya.
Sekembalinya dari Ambon, bermacam teror terus mengancam keselamatan Soekardjo. Tampaknya, nasib tetap tidak berpihak pada dirinya. Predikat bekas Tapol PKI sungguh sangat menyulitkan hidupnya dan seluruh keluarganya. Ditambah lagi, pemerintahan Soeharto telah sedemikian rupa mengeksploitasi peristiwa PKI untuk menghantui rakyat. Rakyat menjadi takut berdekatan dengan orang-orang yang pernah terlibat PKI, terlebih bekal Tapol.
Soekardjo pun dikucilkan oleh masyarakat. Gerak-geriknya masih diawasi perangkat desa. Untunglah masih ada yang berbaik menerimanya. Gelar Sarjana Misionaris-nya membawanya untuk bisa membantu mengajar di Sekolah Tinggi Misiologi YKPN Yogyakarta. Namun, itu tetap saja  tidak cukup cebab anaknya sembilan dan istrinya, Sih Wilujeng, hanya bisa membantu mencukupi kebutuhan keluarga dengan berprofesi sebagai buruh kecil.
Penghasilan Soekardjo setiap hari hanya dapat untuk membeli 3kg beras. Sudah selayaknya bila tiba waktu makan, semua anggota keluarganya saling berebut. Baginya, kesempatan tidak akan ada untuk kali kedua. Maka, saat reformasi bergulir dan Soeharto tumbang, ia pun tidak tinggal diam. Rasa takut mulai dia disisihkan jauh-jauh. Dia mulai bersuara lantang untuk menuntut hak dan kejelasan statusnya selama dinas di militer. Sekaligus dia minta agar namanya direhabilitasi.
Setelah memberikan kesaksian ihwal Supersemar, Wilardjito tetap menolak tuduhan bahwa dirinya adalah penyebar berita bohong. Padahal, beberapa kalangan, bahkan M. Jusuf dan M. Panggabean, meragukan kesaksian Wilardjito itu. Jusuf membantah adanya todongan ala koboi itu. Dia menganggap Soekardjo mengada-ada. Apalagi, memang ingatan Soekardjo kurang akurat. Kakek itu mengatakan Basuki Rahmat, M. Jusuf dan Amir Machmud datang bersama M. Panggabean. Padahal, M. Panggabean tak ikut.
Mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono juga menampik anggapan perihal adanya tekanan dari para jenderal terhadap Presiden Soekarno dalam membuat surat perintah berupa todongan senjata. “Saya kenal para jenderal itu bukan model begitu,’ katanya. “Saya tidak percaya.”

Lepas dari silang pendapat semacam itu, lahirnya Supersemar merupakan peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Kata Frans Seda, “Supersemar bukan datang dari langit. Tapi, hasil suatu strategi dan Supersemar bukan pula hasil upaya perorangan. Kalaulah ada yang mengatakan demikian, saya yakin Pak Harto sendiri tak akan suka disebut demikian.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: