Part 5:Hari-Hari Setelah Supersemar

October 22, 2017 0 Comments


Presiden Soekarno hanya bisa merutuk ketika mahasiswa menuduh Kabinet Dwikora yang dipimpinnya adalah Kabinet Gestapu. Dia pun berteriak dalam pidatonya, “Saya bertanya, Musrsyid, apakah kau komunis? Bukan? Hartono, engkau komunis? Bukan! Sjafei, engkau komunis? Bukan! Basuki Rachmat, engkau komunis! Bukan! Orang diluar yel-yelkan kabinet ini Kabinet Gestapu! Aku berkata, ini kip zonder kop, ayam yang tidak berkepala!”

Gestapu adalah kependekkan dari Gerakan September Tiga Puluh, nama lain untuk peristiwa berdarah yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 yang dilakukan oleh Gerakan 30 September. Presiden Soekarno menyebut peristiwa itu sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober), sedangkan Pemerintahan Orde Baru terbiasa menyebutnya dengan G 30 S/PKI.

Pada 20 Januari 1966, sekitar 92 menteri menyatakan kesetiaannya kepada Presiden Soekarno. Bulan berikutnya diadakan rapat raksasa di bandung yang isinya menyatakan kesetiaan kepada Pemimpin Besar Revolusi. Pada 10 Maret 1966, sejumlah organisasi massa menyatakan kebulatan tekad mendukung Presiden. Akan tetapi, tindakan itu sia-sia. Senjakala kekuatan Presiden sudah tiba.
Soekarno memang sudah kehilangan dukungan rakyat sejak peristiwa G 30 S. Apalagi, sejumlah perwira Angkatan Darat kian mengerucut dalam klik anti-komunis yang sekaligus berupaya merobohkan kekuasaannya Soekarno. Dalam konteks innilah Surat Perintah 11 Maret 1966 lahir sebagai bagian dari skenario penghancuran atas kekuasaannya itu.
Bagaimanakah keadaan di Ibukota pada hari-hari setelah lahirnya Supersemar?
Pada 11 Maret malam, setelah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen M. Jusuf menerima surat perintah dari Presiden Soekarno untuk Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto, maka ketiga jenderal itu segera meninggalkan Istana Bogor dan menuju Jakarta. Menurut Amirmachmud, mereka bertiga langsung menuju markas Kostrad. Di sana, Letjen Soeharto sedang menerima para Pangdam. Supersemar kemudian diserahkan langsung oleh Basuki Rachmat Kepada Soeharto.
Pada malam itu juga, Letjen Soeharto memerintahkan Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto dari markas Kostrad untuk menemui Letkol Soedharmono agar menyiapkan konsep keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI tentang pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Pada saat inilah Soedharmono “bersentuhan” dengan Supersemar.
Pada pukul 22:00, Soedharmono mengaku mendapat telepon dari Soetjipto yang menyampaikan perintah dari Letjen Soeharto untuknya. Soetjipto meminta Soedharmono agar malam itu juga menyiapkan konsep pembubaran PKI. Dia sempat menjelaskan bahwa hal ini adalah perintah Pangkopkamtib, sebagai hasil keputusan rapat KOTI yang dipimpin langsung oleh Pangkopkamtib. Jadi, Soeharto memang telah berencana untuk mempergunakan wewenang dari Supersemar guna membubarkan PKI.
Cerita itu mirip dengan kisah yang dituturkan oleh Jenderal A.H. Nasution sebagaimana dimuat oleh majalah Tempo edisi 15 Maret 1986. Hari-hari menjelang keluarnya Supersemar, Nasution sudah tidak menjabat apa-apa lagi. Dia lebih banyak di rumah sambil mengikuti suasana politik. Akan tetapi, banyak tokoh-tokoh, termasuk para perwira Angkatan Darat,yang datang ke rumahnya.
Nasution mengaku tahu persis bahwa Basuki Rachmat, M. Jusuf dan Amirmachmud dari Bogor membawa Supersemar langsung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Soeharto, kata Nasution, saat itu tengah sakit.
Begitu memperoleh Supersemar, Soeharto langsung bangkit dari tempat tidurnya. Kalau tak salah, tutur nasution, dia lalu pergi ke markas Kostrad. Namun, sebelum pergi, Soeharto menelepon istri Nasution untuk memohon restu dan istri Nasution pun memberikan restu.
Dalam rapat di markas Kostrad, Letjen Soeharto duduk berdampingan dengan mayjen Soetjipto, yang waktu itu menduduki jabatan Ketua G-5 KOTI dan Kepala Staf Peperti. Ketika rapat sedang berlangsung, Soeharto menunjukkan Supersemar kepada Soetjipto. Setelah membacanya, Soetjipto berkata, “Ini sudah cukup dipakai untuk membubarkan PKI.”
Nasution juga mengaku bahwa Soetjipto datang ke rumahnya di jalan Teuku Umar pada 12 Maret 1966. Soetjipto menceritakan keputusan rapat pada malam sebelumnya. Nasution dan Soetjipto lalu pergi ke rumah Soeharto.
Nasution lalu memberikan usul kepada Soeharto, antara lain, “Kamu sudah cukup posisi untuk membentuk Kabinet Darurat.”
Soeharto menjawab, “Wah itu wewenang Bung Karno, bukan wewenang saya.”
Nasution kembali berkata, “Saya nanti akan membantumu.”
Soeharto hanya terdiam,
Usul Nasution agar Soeharto membentuk Kabinet Darurat menunjukkan keinginan Nasution untuk menyingkirkan Soekarno sebagai presiden. Rupanya, Soeharto ketika itu menyadari wewenangnya hanya mengenai teknis keamanan. Tentu saja kesediaan nasution untuk membantunya juga berpengaruh kepada Soeharto untuk melangkah lebih lanjut dengan menggunakan Supersemar.
Meskipun pada 13 Maret 1966 Presiden Soekarno mengutus Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena didampingi Brigjen KKO Hartono mendatangi Letjen Soeharto di rumahnya dengan membawa sepucuk surat yang isinya mengoreksi keputusan Soeharto yang membubarkan PKI, tampaknya Soeharto sudah yakin bahwa dia akan mendapat bantuan dari Nasution. Maka kepada Leimena, Soeharto berpesan, “Sampaikan pada Bapak Presiden, semua yang akan lakukan atas tanggung jaawab saya sendiri.”
Bagaimana dengan kisah Supersemar berikutnya?
Pukul 01:00 tanggal 12 Maret 1966, Soedharmono kedatangan tamu Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) Brigjen Budiono. Sang tamu membawa dokumen penting, menurutnya rahasia, untuk difotokopi. Katanya di MBAD tidak ada mesin fotokopi. Ternyata, dokumen itu adalah Supersemar. Setelah difotokopi, Soedharmono meminta salinannya satu lembar. Sedangkan, aslinya dibawa oleh Budiono.
Menurut Soedharmono, dokumen yang difotokopi itu tidak lain adalah Supersemar. Satu fotokopi diminta oleh Soedharmono karena akan dijadikan dasar hukum bagi pembubaran PKI. Menurutnya, surat tersebut memudahkan dasar hukum pembubaran PKI karena surat perintah tersebut memberi wewenang kepada Letjen Soeharto untuk atas nama Presiden/Pangti ABRI/KOTI mengambil langkah-langkah yang dianggapnya perlu.
Akan tetapi Moerdiono, yang saat itu berpangkat letnan satu, memiliki versi yang agak berbeda dibandingkan atasannya, Letkol Soedharmono. Dalam sebuah wawancara dia mengatakan bahwa Budiono adalah seorang perwira menengah berpangkat Kolonel CPM. Setelah memfotokopi surat perintah tersebut, Budiono tidak mau memberikan kopi surat perintah kepada Moerdiono. Kata Moerdiono,

“Waktu dia keluar, saya meminta surat itu. Tapi, dia bilang, ‘Enggak bisa, ini rahasia. Lha, ini saya untuk kerja. ‘Enggak bisa.’ Ya sudah. Nanti juga saya dapat. Jadi semuanya dibawa ke Kostrad. Saya enggak dapat. Dari Kostrad baru dikirim lagi..”

Brgijen Budiono telah meninggal dunia dan tidak pernah ada usaha konfirmasi kepada yang bersangkutan mengenai keberadaan surat perintah yang asli dari Presiden Soekarno. Soedharmono juga tidak pernah menceritakan bagaimana nasib fotokopi surat perintah yang dia minta dari Budiono. Sedangkan, menurut Moerdiono, dia pernah mendapat cerita dari Soeharto bahwa dokumen asli tersebut diserahkan kepada Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Ibnu Soebroto, yang juga telah meninggal dunia tanpa pernah berbicara mengenai hal itu.
Di pihak lain, Presiden Soekarno pada 12 Maret 1966 membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara yang dihadiri lengkap oleh Men/Pangal, Men/Pangau dan Men/Pangak. Dalam kesempatan itu, presiden juga membacakan surat perintah yang diberikan kepada Men/Pangau dan Men/Pangak. Dalam kesempatan itu, presiden juga membacakan surat perintah yang diberikan kepada Men/Pangad Letjen Soeharto, yang pada hari itu tidak hadir dalam acara pembukaan rapat tersebut. Soekarno membacakan Supersemar yang baru saja dia tanda tangani dan diserahkan kepada Soeharto.
Setelah membaca isi surat perintah tersebut, Presiden Soekarno mengakhiri dengan kalimat, “Nah, saudara-saudara, bersambung dengan perintahkan saudara-saudara untuk memenuhi perintahku tersebut dan mengadakan koordinasi sebaik-baiknya untuk melaksanakan perinntahku dengan angkatan-angkatan lain, yaitu Polisi, Udara dan Laut agar supaya revolusi berjalan terus dengan selamat, aman dan sentosa, agar Pemimpin Besar Revolusi sebagai pemimpin pemerintahan, bisa berjalan terus dengan sebaik-baiknya.”
Reaksi terkejut presiden tersebut baru muncul setelah menerima laporan bahwa Men/Pangad membubarkan PKI dengan dasar Supersemar. Presiden lalu mengeluarkan surat perintah susulan yang disampaikan khusus kepada Letjen Soeharto melalui Wakil Perdana Menteri II J. Leimena pada 13 Maret 1966. Namun, Soeharto tidak memberikan reaksi apa-apa. Sementara ketiga jenderal yang datang ke Bogor sama sekali tidak pernah bertemu dengan Presiden Soekarno sesudah itu.
Dalam hal ini pengakuan seorang mantan menteri di Kabinet Dwikora menjadi menarik untuk diperhatikan. Dia mengaku telah melaporkan Presiden Soekarno perihal sikap Letjen Soeharto yang membubarkan PKI.
Dengan adanya laporan itu, Bung Karno segera memutuskan untuk membuat surat penjelasan kepada Soeharto. “Kalau begitu harus dibuat surat yang memberitahukan maksud sebenarnya dari Supersemar. Untuk itu, Leimena, Waperdam II, harus hadir,” kata Bung Karno.
Waktu itu, kata sang mantan menteri, Leimena tidak ada sehingga mereka menunggu Leimena untuk hadir. Setelah Leimena tiba, Bung Karno membuat surat yang isinya memberita hukum kepada Soeharto bahwa Supersemar itu sekadar perintah pelaksanaan teknis untuk Ibukota. Surat itu dibawa Leimena pada 14 Maret pagi ke rumah Letjen Soeharto.
Pada 15 Maret pagi, sang mantan menteri menuju Istana Bogor dan menemui Presiden Soekarno. Dia melaporkan penangkapan para menteri oleh Letjen Soeharto. Bung Karno kaget mendengarnya.
Ora iso, Soeharto meminta izin kepada saya kemarin untuk mengawal menteri-menteri yang diperkirakan mau didatangi demonstran. Dia punya daftar menteri-menteri itu. Daripada terjadi insiden, Soeharto meminta izin mengawal menteri-menteri itu,” kata Bung Karno.
Akan tetapi, sang mantan menteri menyahut, “Lho, mereka semua sekarang ditahan, Pak.”
Bung Karno pun semakin terkejut.
Perihal pembubaran PKI, Menteri/Panglima Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang juga mengaku tidak diajak berkoordinasi oleh Letjen Soeharto. Dia mengaku demikian,

“Sama sekali tidak ada koordinasi. Terutama, masalah pembubaran PKI itu. Pembubaran PKI itu kan masalah politik sehingga begitu keluar di surat kabar dan radio, Bung Karno marah. Pada tanggal 12 Maret, kita para panglima dipanggil ke Bogor, sekitar pukul 13:40. Saat itu di Jakarta, sudah ramai show of force dari RPKAD, Kostrad dan lain-lain. Bung Karno tanya, ‘Kalian ini bagaimana? Sudah diajak koordinasi Soeharto atau belum? Itu gimana, perintah saya hanya di bidang keamanan. Mengapa mengambil tindakan membubarkan PKI? Itu ‘kan wewenang saya.’ Pak Harto sendiri tidak hadir dengan alasan sakit tenggorokan dan terbaring di rumahnya. Bung Karno marah. Kita tahu, kalau Bung Karno marah, kata-kata go to hell-nya keluar.”

Karena menganggap Supersemar telah digunakan secara lancang, Presiden Soekarno menyurati Letjen Soeharto. Mantan Duta Besar RI untuk Kuba A.M. Hanafi menuturkan bahwa pada 13 Maret 1966 Soekarno mengirimkan surat kepada Soeharto yang terdiri dari tiga poin:
1.    Mengingatkan bahwa Supersemar sifatnya adalah teknis/administratif, tidak politik, semata-mata adalah surat perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS.
2.    Bahwa Jenderal Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui bidang dan tanggung jawabnya sebab bidang politik adalah wewenang langsung presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden semata-mata.
3.    Jenderal Soeharto diminta datang menghadap presiden di istana untuk memberikan laporannya.
Hanafi menyebut bahwa surat teguran itu diantar oleh Leimena kepada Soeharto, tapi sebelumnya diperbanyak hingga 5.000 lembar untuk disebarkan. Yang mengatur pembagiannya adalah Menteri Penerangan Achmadi. Akan tetapi, tidak ada madia massa yang mau menyebarluaskan.
Pada 16 Maret 1966, Presiden Soekarno membuat pengumuman untuk menjelaskan Supersemar. Dia menegaskan bahwa dirinya masih berkuasa penuh, sebagai kepala eksekutif pemerintah dan mandataris MPRS. Hanya dia yang dapat mengangkat menteri. Dia juga menyebut dirinya hanya bertanggung jawab kepada MPRS dan Tuhan.
Dengan mengantungi Supersemar, Letjen Soeharto belum menjadi penguasa tertinggi di RI. Soekarno secara de facto maupun de jure masih menjabat Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, bahkan Pemimpin Besar Revolusi. Namun, tiupan angin memang sudah bergeser. Soeharto kian mendapat peluang meraih kekuasaan melalui Supersemar.
Presiden Soekarno sebenarnya sadar bahwa dia ditelikung oleh Letjen Soeharto. Maksud hati ingin memberi perintah pengamanan belaka, apa daya justru terjadi “pengalihan kekuasaan”.
Soekarno dalam beberapa pidatonya setelah penyerahan Supersemar menegaskan bahwa surat perintah itu bukanlah penyerahan kekuasaan. Dia tetap Presiden RI yang sah. Pada 1 April 1966 atau beberapa minggu setelah 11 Maret, dia berpidato di Masjid Istiqlal dalam peringatan Idul Adha. Waktu itu dia berkata, “Sang duta besar kita harus menerangkan lagi, menerangkan bahwa berita-berita surat kabar nekolim itu tidak benar. Presiden Soekarno has not been toppled, Presiden Soekarno tidak digulingkan. Presiden Soekarno has not been ousted. Presiden Soekarno tidak ditendang keluar. Presiden Soekarno is still president. Presiden Soekarno masih tetap presiden. Presiden Soekarno is still supreme commander of the armed forces. Presiden Soekarno masih tetap Panglima Tertinggi daripada Angkatan Bersenjata!”
Setelah pada 6 Juli 1966 Sidang MPRS mengeluarkan Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar, Presiden Soekarno masih merasa bisa mempertahankan kekuasaannya. Dalam sebuah pidatonya dia berkata,

“Saya plong MPRS mengukuhkan Surat Perinntah saya, 11 Maret. Boleh dikatakan Surat Perintah saya 11 Maret itu diambil oper oleh MPRS. Jadi, saudara-saudara jangan salah pengertian lo, jangan kira bahwa saya merasa, apa itu, terjegal atau bagaimana, manakah MPRS mengukuhkan SP 11 Maret itu. Oo, tidak! Saya malah gembira, malah senang bahwa perintah saya 11 Maret itu, bukan hanya perintah saya saja, tetapi perintah yang seluruhnya diambil oper oleh MPRS. Saya baca sekali lagi. Memutuskan, memerintahkan kepada Pak Harto untuk, dengarkan betul-betul ya, atas nama Presiden/Pemimpin Tertinggi/Pemimpin Besar revolusi: satu, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Ini saya terangkan begini, saudara-saudara, apalagi para asing, pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. It is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan untuk ini untuk itu, untuk itu.”

Soekarno kembali menegaskan hal tersebut dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden pada 17 Agustus 1966. Pidato itu berjudul “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah” (Djas Merah). “Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority padahal SP 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan,’ kata Soekarno.
Soekarno dalam pidatonya merasa kecewa terhadap Soeharto yang salah mengartikan Supersemar. Menurut Soekarno, Supersemar itu ditujukan untuk melakukan antisipasi langkah-langkah pengamanan terhadap dirinya, pengamanan terhadap ajaran yang dipegangnya dan pengamanan terhadap pemerintahan yang berkuasa. “Bukan penyerahan pemerintahan! Bukan transfer of authority!’ ujar Soekarno.
Sambil sesekali memekikan semangat perjuangan, Soekarno juga secara eksplisit menuding Soeharto sebagai biang kehancuran pemerintahan yang ditampuknya. “Mereka kecele sama sekali! Dan sekarang pun, pada Hari Proklamasi sekarang ini mereka kecele lagi! Lho, Soekarno masih presiden! Soekarno pemimpin besar revolusi! Soekarno masih mandataris MPRS! Soekarno masih perdana menteri! Soekarno masih berdiri lagi di mimbar ini!” pekiknya.

Dalam sambutan untuk memperingati 40.000 jiwa pahlawan Sulawesi Selatan di Istora Senayan, Jakarta, pada 10 Desember 1966, Presiden Soekarno kembali mengingatkan bahwa Supersemar bukanlah pengalihan kekuasaan kepada Letjen Soeharto, melainkan sekadar perintah kepada Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan. Kata Bung Karno, “Perintah itu bisa juga saya berikan, misalnya, kepada Pak Mul. Muljadi Pangal (Panglima Angkatan Laut). Saya bisa juga perintahkan kepada Pak Soetjipto Judodihardjo, apalagi dia itu Pangak, saya perintahkan kepadamu untuk keamanan, kestabilan jalannya pemerintahan. Untuk keamanan pribadi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dan lain-lain sebagainya. I repeat again: it is not a transfer of authority. Sekadar satu perintah! Mengamankan!”

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: