Awal Perjumpaan Soeharto dan Siti Hartinah

November 12, 2017 0 Comments


Banyak riwayat mengisahkan bahwa Soeharto dan Siti Hartinah belum pernah bertemu sebelum Bu Prawirowihardjo melamar putri cantik tersebut. Namun, di salah satu kisah masa kecil Soeharto, Siti Hartinah pernah disebut dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya sebagai teman Sulardi, adik sepupu Soeharto. Perjumpaan sekilas tanpa ada komunikasi secara lisan tersebut ternyata selalu ada di benak Soeharto muda. Ketertarikan kepada Siti Hartinah sebenarnya muali ada, tetapi tertutup oleh usia, keadaan dan tekad kuat Soeharto untuk menjadi “orang”, yaitu menggapai kesuksesan terlebih dahulu.
Saat tinggal di Wuryantoro, Siti Hartinah sekelas dengan Sulardi. Sulardi menuturkan dalam buku Abdul Gafur bahwa saat sekolah, Siti Hartinah mengenakan kain dan kebaya. Pergi dan pulang sekolah Siti Hartinah naik andong, bagaimanapun dia adalah putri bangsawan yang tak boleh mengenakan rok seperti anak lainnya. Hanya satu hari dimana Siti Hartinah boleh mengenakan rok, yaitu saat menjalani latihan sebagai Pandu (Pramuka) yang disebut Javaansche Padvinder Organisatie. Tampak bahwa dia adalah seorang gadis yang aktif, ceria dan banyak teman. Meskipun keturunan keraton, Siti Hartinah tak lantas mengeksklusifkan diri dan enggan bergaul dengan anak-anaj lain. Sulardi pulalah yang disebut mengenalkan Soeharto dengan putri Solo nan anggun tersebut.
Soeharto merupakan satu-satunya pemuda yang berani menggoda Siti Hartinah, saat pemuda lain harus berpikir ulang untuk menyapa putri Wedono tersebut. Bahkan, Soeharto pernah masuk ke pekarangan rumah keluarga Soemohardjomo untuk memetik bunga dan memberikannya pada putri keluarga tersebut. Tanpa disadari pula Siti Hartinah sangat mengingat kejadian di masa awal remaja tersebut sehingga sulit baginya untuk menerima pinangan dari orang lain sebelum datang pinangan dari keluarga Soeharto.
Tanpa pernah disadari oleh keduanya, baik Soeharto maupun Siti Hartinah, ternyata banyak persamaan dalam diri mereka yang akhirnya bisa menyatukan ikatan tali pernikahan sampai berpuluh tahun lamanya. Kesamaan sifat, sikap, serta ajaran dan keteladanan hidup dari para pinisepuh leluhur Jawa membuat visi dan misi Pak Harto dan Bu Tien tak banyak berbeda. Satu lagi keunikan yang terjadi, baik Siti Hartinah maupun Soeharto sama-sama memiliki weton Rabu Kliwon. Melihat hari Rabu sebagai hari kelahiran keduanya secara perhitungan Jawa, dikatakan bahwa siapa pun yang lahir hari Rabu memiliki perwatakan “sembada” artinya serba sanggup dan kuat melakukan semua pekerjaan dan tugas yang dilimpahkan padanya. Tak ada kata menyerah, meski tetap memasrahkan hasilnya pada Sang Mahakuasa.
Lebih lanjut, bagi seorang perempuan yang lahir hari Rabu Kliwon, sifat serta pada suami adalah utama baginya. Perempuan pemilik neptu Rabu Kliwon memiliki hati mulia, ramah, mendidik, bertutur kata manis, sayng anak kecil, tetapi memiliki sifat pendiam sehingga cenderung dianggap angkuh. Meskipun demikian, sifat baik lain yang dikatakan menyertai perempuan berneptu Rabu Kliwon adalah suka menolong, cerdas, bisa menyimpan wadi atau rahasia dan tak suka turut campur dalam urusan orang lain. Dalam buku Abdul Gafur disebutkan bahwa jika dihitung menurut tanggal 23 hari kelahiran Bu Tien, dikatakan perempuan ini pandai berkegiatan dengan caranya sendiri, tak suka diikat oleh orang lain, serta pandai mengungkapkan pendapatnya. Bulan Agustus menunjukkan bahwa seseorang dapat dipercaya, memiliki hati yang baik, menarik bagi orang lain, sederhana, rajin bekerja, tetapi kadangkala suka pula melakukan kesenangan sebagai hobinya. Selain itu, dikatakan pula bahwa bulan Agustus merupakan bulan kelahiran dimana banyak orang mudah mendapatkan rezekinya.
Siti Hartinah, demikian ringkas dan menarik untuk diingat. Dalam benak Soeharto tak ada nama perempuan lain yang patut dilamar selain dia. Meski awalnya Soeharto minder dan merasa tak mungkin diterima, tetapi toh tekad kuatnya mendorong Bu Prawirowihardjo, bibi sekaligus ibu angkatnya untuk mengutus Mbok Bongkek menanyakan kepada keluarga Siti Hartinnah. Pertanyaan Mbok Bongkek adalah mengenai keberadaan Siti Hartinah benarkah masih sendiri, semakin cantik dan langsing, berkulit kuning dan baru sembuh dari sakit. Mendengar penuturan Mbok Bongkek ada setitik harapan di hati Soeharto untuk meminang putri wedono tersebut menjadi istri. Namun di sisi lain, Soeharto ragu apakah pinangannya akan diterima.
Bu Prawiro merupakan bibi yang sayang kepada Soeharto dn menganggap Soeharto seperti anak sendiri. Dengan segala keberanian dan doa, datanglah Bu Prawiro ke rumah keluarga RM Soemohardjomo untuk meminang Siti Hartinah. Saat dipinang. Bu Tien mengisahkan dirinya mengenakan baju hijau sehingga dirasa serasa serasi dengan kulit dan perawakannya. Bu Tien menganggap pilihan baju tersebut membuat Soeharto semakin mantap dan tertarik padanya, tetapi di sisi lain justru Soeharto merasa kikuk dan takut jika lamarannya di tolak. Untunglah keluarga Soemohardjomo tak pernah membedakan orang dari status sosial maupun keturunan. Mereka dengan ramah menerima keluarga Prawirowihardjo dan Soeharto. Terlebih lagi Siti Hartinah ternyata juga menerima sepenuh hati pinangan Soeharto. Gadis cantik berlesung pipit tersebut benar-benar menerimanya dan inilah yang membuat semangat hidup Soeharto semakin berkobar yang kemudian beranjak menjadi kesuksesan di masa mendatang.
Ada kisah tersendiri mengapa Siti Hartinah menerima pinangan Soeharto. Di usia yang tak lagi remaja, bahkan telah sangat lambat untuk berumah tangga untuk ukuran masyarakat pedesaan di tahun 1940-a, Siti Hartinah masih bertahan tak menerima pinangan siapa pun. Siti Hartinah memang menunggu datangnya pinangan dari seorang prajurit berjaket seperti yang tergambar dalam mimpinya. Mimpi yang dipercaya oleh Siti Hartinah sebagai pertanda baginya mengenai calon jodoh tersebut menggambarkan bahwa si prajurit mengenakan jaketnya ke diri Siti Hartinah. Hal ini disampaikan oleh Siti Hartinah pada Abdul Gafur yang kemudian merangkainya dalam buku Siti Hartinah Soeharto, First Lady Indonesia. Mimpi Siti Hartinah akhirnya menjadi kenyataan dan dia menerima dengan senang hati pinangan prajurit berjaket yang tak lai adalah Soeharto. Wajah dan pakaian prajurit berjaket yang tak lain adalah Soeharto. Wajah dan pakaian prajurit dalam mimpi tersebut persis dengan Soeharto.
Jodoh ada di tangan Sang Mahakuasa, hal inilah yang sangat dipercaya oleh Siti Hartinah hingga dilangsungkannya pernikahan dengan Soeharto pada 26 Desember 1947. Pernikahan yang sangat sederhana bahkan tanpa adanya dokumentasi karena keadaan negara sedang genting menghadapi ancaman Belanda yang ingin menguasai Indonesia. Sewaktu menikah, dikisahkan Siti Hartinah mengenakan baju jahitan sendiri yang kainnya berasal dari pemberian Eyang Sewoko atas restu beliau terhadap pernikahan Siti Hartinah. Sementara Soeharto mengenakan jas coklat dan blangkon ala Jawa dengan keris di belakang pinggang. Pernikahan yang sangat sederhana, tetapi sakral antara putri bangsawan dengan rakyat biasa. Mengingatkan pernikahan Ken Dedes dan Ken Arok yang kemudian manjadi Raja Singosari.

Pernikahan Siti Hartinah dan Soeharto dapat dikatakan sebagai perwujudan dari doa keduanya agar ditemukan dengan jodoh yang sesuai, jodoh pilihan Sang Maha Pemberi Hidup sehingga perjalanan rumah tangga keduanya nanti akan berjalan sesuai harapan.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: