Awal Perjumpaan Soeharto dan Siti Hartinah
Banyak riwayat
mengisahkan bahwa Soeharto dan Siti Hartinah belum pernah bertemu sebelum Bu
Prawirowihardjo melamar putri cantik tersebut. Namun, di salah satu kisah masa
kecil Soeharto, Siti Hartinah pernah disebut dalam buku Soeharto: Pikiran,
Ucapan dan Tindakan Saya sebagai teman Sulardi, adik sepupu Soeharto.
Perjumpaan sekilas tanpa ada komunikasi secara lisan tersebut ternyata selalu
ada di benak Soeharto muda. Ketertarikan kepada Siti Hartinah sebenarnya muali
ada, tetapi tertutup oleh usia, keadaan dan tekad kuat Soeharto untuk menjadi
“orang”, yaitu menggapai kesuksesan terlebih dahulu.
Saat tinggal
di Wuryantoro, Siti Hartinah sekelas dengan Sulardi. Sulardi menuturkan dalam
buku Abdul Gafur bahwa saat sekolah, Siti Hartinah mengenakan kain dan kebaya.
Pergi dan pulang sekolah Siti Hartinah naik andong, bagaimanapun dia adalah
putri bangsawan yang tak boleh mengenakan rok seperti anak lainnya. Hanya satu
hari dimana Siti Hartinah boleh mengenakan rok, yaitu saat menjalani latihan
sebagai Pandu (Pramuka) yang disebut Javaansche Padvinder Organisatie. Tampak
bahwa dia adalah seorang gadis yang aktif, ceria dan banyak teman. Meskipun
keturunan keraton, Siti Hartinah tak lantas mengeksklusifkan diri dan enggan
bergaul dengan anak-anaj lain. Sulardi pulalah yang disebut mengenalkan
Soeharto dengan putri Solo nan anggun tersebut.
Soeharto
merupakan satu-satunya pemuda yang berani menggoda Siti Hartinah, saat pemuda
lain harus berpikir ulang untuk menyapa putri Wedono tersebut. Bahkan, Soeharto
pernah masuk ke pekarangan rumah keluarga Soemohardjomo untuk memetik bunga dan
memberikannya pada putri keluarga tersebut. Tanpa disadari pula Siti Hartinah
sangat mengingat kejadian di masa awal remaja tersebut sehingga sulit baginya
untuk menerima pinangan dari orang lain sebelum datang pinangan dari keluarga
Soeharto.
Tanpa pernah
disadari oleh keduanya, baik Soeharto maupun Siti Hartinah, ternyata banyak
persamaan dalam diri mereka yang akhirnya bisa menyatukan ikatan tali
pernikahan sampai berpuluh tahun lamanya. Kesamaan sifat, sikap, serta ajaran
dan keteladanan hidup dari para pinisepuh leluhur Jawa membuat visi dan misi
Pak Harto dan Bu Tien tak banyak berbeda. Satu lagi keunikan yang terjadi, baik
Siti Hartinah maupun Soeharto sama-sama memiliki weton Rabu Kliwon. Melihat
hari Rabu sebagai hari kelahiran keduanya secara perhitungan Jawa, dikatakan
bahwa siapa pun yang lahir hari Rabu memiliki perwatakan “sembada” artinya
serba sanggup dan kuat melakukan semua pekerjaan dan tugas yang dilimpahkan
padanya. Tak ada kata menyerah, meski tetap memasrahkan hasilnya pada Sang
Mahakuasa.
Lebih lanjut,
bagi seorang perempuan yang lahir hari Rabu Kliwon, sifat serta pada suami
adalah utama baginya. Perempuan pemilik neptu Rabu Kliwon memiliki hati mulia,
ramah, mendidik, bertutur kata manis, sayng anak kecil, tetapi memiliki sifat
pendiam sehingga cenderung dianggap angkuh. Meskipun demikian, sifat baik lain
yang dikatakan menyertai perempuan berneptu Rabu Kliwon adalah suka menolong,
cerdas, bisa menyimpan wadi atau rahasia dan tak suka turut campur dalam urusan
orang lain. Dalam buku Abdul Gafur disebutkan bahwa jika dihitung menurut
tanggal 23 hari kelahiran Bu Tien, dikatakan perempuan ini pandai berkegiatan
dengan caranya sendiri, tak suka diikat oleh orang lain, serta pandai
mengungkapkan pendapatnya. Bulan Agustus menunjukkan bahwa seseorang dapat
dipercaya, memiliki hati yang baik, menarik bagi orang lain, sederhana, rajin
bekerja, tetapi kadangkala suka pula melakukan kesenangan sebagai hobinya.
Selain itu, dikatakan pula bahwa bulan Agustus merupakan bulan kelahiran dimana
banyak orang mudah mendapatkan rezekinya.
Siti Hartinah,
demikian ringkas dan menarik untuk diingat. Dalam benak Soeharto tak ada nama
perempuan lain yang patut dilamar selain dia. Meski awalnya Soeharto minder dan
merasa tak mungkin diterima, tetapi toh tekad kuatnya mendorong Bu
Prawirowihardjo, bibi sekaligus ibu angkatnya untuk mengutus Mbok Bongkek
menanyakan kepada keluarga Siti Hartinnah. Pertanyaan Mbok Bongkek adalah
mengenai keberadaan Siti Hartinah benarkah masih sendiri, semakin cantik dan
langsing, berkulit kuning dan baru sembuh dari sakit. Mendengar penuturan Mbok
Bongkek ada setitik harapan di hati Soeharto untuk meminang putri wedono tersebut
menjadi istri. Namun di sisi lain, Soeharto ragu apakah pinangannya akan
diterima.
Bu Prawiro
merupakan bibi yang sayang kepada Soeharto dn menganggap Soeharto seperti anak
sendiri. Dengan segala keberanian dan doa, datanglah Bu Prawiro ke rumah keluarga
RM Soemohardjomo untuk meminang Siti Hartinah. Saat dipinang. Bu Tien
mengisahkan dirinya mengenakan baju hijau sehingga dirasa serasa serasi dengan
kulit dan perawakannya. Bu Tien menganggap pilihan baju tersebut membuat
Soeharto semakin mantap dan tertarik padanya, tetapi di sisi lain justru
Soeharto merasa kikuk dan takut jika lamarannya di tolak. Untunglah keluarga
Soemohardjomo tak pernah membedakan orang dari status sosial maupun keturunan.
Mereka dengan ramah menerima keluarga Prawirowihardjo dan Soeharto. Terlebih
lagi Siti Hartinah ternyata juga menerima sepenuh hati pinangan Soeharto. Gadis
cantik berlesung pipit tersebut benar-benar menerimanya dan inilah yang membuat
semangat hidup Soeharto semakin berkobar yang kemudian beranjak menjadi kesuksesan
di masa mendatang.
Ada kisah
tersendiri mengapa Siti Hartinah menerima pinangan Soeharto. Di usia yang tak
lagi remaja, bahkan telah sangat lambat untuk berumah tangga untuk ukuran
masyarakat pedesaan di tahun 1940-a, Siti Hartinah masih bertahan tak menerima
pinangan siapa pun. Siti Hartinah memang menunggu datangnya pinangan dari
seorang prajurit berjaket seperti yang tergambar dalam mimpinya. Mimpi yang
dipercaya oleh Siti Hartinah sebagai pertanda baginya mengenai calon jodoh
tersebut menggambarkan bahwa si prajurit mengenakan jaketnya ke diri Siti
Hartinah. Hal ini disampaikan oleh Siti Hartinah pada Abdul Gafur yang kemudian
merangkainya dalam buku Siti Hartinah Soeharto, First Lady Indonesia. Mimpi
Siti Hartinah akhirnya menjadi kenyataan dan dia menerima dengan senang hati
pinangan prajurit berjaket yang tak lai adalah Soeharto. Wajah dan pakaian
prajurit berjaket yang tak lain adalah Soeharto. Wajah dan pakaian prajurit
dalam mimpi tersebut persis dengan Soeharto.
Jodoh ada di
tangan Sang Mahakuasa, hal inilah yang sangat dipercaya oleh Siti Hartinah
hingga dilangsungkannya pernikahan dengan Soeharto pada 26 Desember 1947.
Pernikahan yang sangat sederhana bahkan tanpa adanya dokumentasi karena keadaan
negara sedang genting menghadapi ancaman Belanda yang ingin menguasai
Indonesia. Sewaktu menikah, dikisahkan Siti Hartinah mengenakan baju jahitan
sendiri yang kainnya berasal dari pemberian Eyang Sewoko atas restu beliau
terhadap pernikahan Siti Hartinah. Sementara Soeharto mengenakan jas coklat dan
blangkon ala Jawa dengan keris di belakang pinggang. Pernikahan yang sangat
sederhana, tetapi sakral antara putri bangsawan dengan rakyat biasa.
Mengingatkan pernikahan Ken Dedes dan Ken Arok yang kemudian manjadi Raja
Singosari.
Pernikahan
Siti Hartinah dan Soeharto dapat dikatakan sebagai perwujudan dari doa keduanya
agar ditemukan dengan jodoh yang sesuai, jodoh pilihan Sang Maha Pemberi Hidup
sehingga perjalanan rumah tangga keduanya nanti akan berjalan sesuai harapan.
0 Comments: