HARI-HARI TERAKHIR BUNG KARNO PART 2-TAMAT
Satu hari
bernama tanggal 18 mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu hari berikutnya yang
bernama 19 Juni 1970, adalah bilangan 1440 menit, 86.400 detik. Tapi semua itu
adalah tusukan duri bagi Soekarno yang tengah tergolek lemah.
Sedangkan 20
Juni tercatat sebagai simbol dwitunggal yang terpatri abadi. Sejarahlah yang
berkuasa pada hari itu. Bung Hatta datang menjenguk sahabat seperjuangan.
Sementara bung Karno seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang
Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang mengharu-biru seperti yang dikisahkan
Meutia Hatta dalam bukunya: Bung Hatta: Pribadinya dalam kenangan.
Berkata lirih
Soekarno kepada Hatta, “Hatta...kau disini...?
Seperti
diiris-iris hati Hatta meihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi memompa
semangat sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa,
ditekannya dalam-dalam perasaan duka yang bisa mengekspresikan raut muram.
Dikuatkan hatinya demi memancarkan wajah cerah, “Ya... bagaimana keadaanmu, No?
Begitu hatta membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia
ucapkan di awal-awal perjuangan.
Hatta spontan
memegang lembut tangan Bung Karno. Senyum tetap dipaksakan tersungging di
bibirnya. Ia benar-benar tak ingin sahabatnya bermuram durja. Alhasil, Bung
Karno pun membalas senyum hatta sambil melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at Het met jou...” (Bagaimana keadaanmu?)
Jebol juga
pertahanan hati Hatta. Gejolak antara rasa haru, iba, sejuta tanya, bercampur
menjadi satu melihat kondisi karno yang begitu memprihatinkan. Hatta
benar-benar tak kuasa lagi merekayasa tau teduh. Hatta benar-benar tak kuasa
menahan derasnya arus kesedihan mendengar sahabatnya menyapa dalam bahasa
Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgia. Apalagi usai
berkata-kata lemah, Soekarno menangis terisak-isak.
Lelaki perkasa
yang ketika muda seirng menulis artikel dengan nama samaran “Bima” itu menangis
di depan kawan seperjuangannya. Seketika Hatta pun tak kuasa membendung air
mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut
berpisah. Keduanya bertangis-tangisan.
“No” hanya
kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis yang
sungguh memilukan, mengayat hati siapa saja yang mendengarnya. Bibirnya bergetar
menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena
ledakan emosi yang menyesakkan dada, mengalirkan air mata. Keduanya tetap
berpegangan tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta minta dipasangkan
kacamata agar dapat melihat sahabtnya lebih jelas.
Selanjutnya
Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan mereka berbicaara melalui
bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang
bersejarah itu. Selanjutnya Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu
datangnya malaikat penjemput guna mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang kandas di tangan bangsanya sendiri.
Siapa yang tak
murka mengetahui bahwa selama kurang lebih 1,5 tahun “dikerengkeng” di Wisma
Yaso, Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, tokoh pemersatu dan
proklamator bangsa, ternyata hanya diserahkan perawatannya secara penuh kepada
dr. Soeroyo, dia bukanlah dokter spesialis, melainkan dokter hewan.
Ia masuk
masuk-keluar Wisma Yaso dengan perawat-perawat yang tidak jelas didatangkan
dari mana. Bahkan obat-obatan yang dicekokkan ke Bung Karno pun sama sekali
tidak tepat. Ia hanya memberinya duvadilin
(mencegah kontraksi ginjal), metadone
(penghilang sara sakit), royal jeli, suntikan vitamin B1 dan B12, serta testosteron. Selain itu, Soekarno tiap
malam juga minum valium.
Tiap malam
minum valium selama tahunan, tentu
saja membuat tidurnya tak lagi terkontrol. Akibatnya Soekarno mulai sering
merasakan pusing. Setiap itu pula, perawat memberinya obat pengurang rasa
sakit, novalgin.
Perawatan yang sembrono juga sering terjadi. Ketika
Bung Karno terbangun tengah malam dan muntah darah, dokter Soeroyo hanya
memberinya vitamin. Sementara dokter Mahar Mardjono yang disebut-sebut sebagai
ketua tim, sama sekali tidak pernah hadir ke Wisma Yaso. Itu semua terungkap
dalam dokumen yang lebih 27 tahun tersimpan oleh Siti Khadijah, yang tak lain
adalah istri dokter Soeroyo.
Ihwal Siti
Khadijah ini sendiri menemukan dokumen itu secara tidak sengaja. Ketika
suaminya meninggal dan sedang melakukan bersih-bersih ruangan, ia menemukan
dokumen tersebut. Ia sempat bingung, mengingat eranya belum memungkinkan ia
membeberkan ke publik. Terlebih kekuatan Soeharto dan pemerintahan Orde Barunya
masih begitu dominan.
Kegusaran
timbul manakala Ratna Sari Dewi Soekarno sempat mengeluarkan pernyataan yang
kontroversial seputar kematian Bung Karno. Ia spontan teringat dokumen
tersebut, yang bisa menjernihkan keadaan. Maka, ia pun berusaha sekuat tenaga
menghubungi putra-putri Bung Karno.
Yang pertama
kali ia datangi adalah Megawati Soekarnoputri. Sayang, ia tidak bisa bertemu,
lantaran Mega tengah berada di luar kota. Petugas yang berada di rumah tidak
bisa meyakinkan Siti Khadijah, sehingga ia tidak jadi menitipkan dokumen
tersebut.
Ia pun beralih
menjumpai Guntur Soekarnoputra. Sayang, usaha ini pun gagal. Sampailah saatnya
ia bertemu seorang wartawan yang mengantarnya ke Rachmawati Soekarnoputri.
Dokumen itu pun beralih tangan ke Rachma, hingga akhirnya Rachma pula yang
berbicara di media massa, sekaligus mengklarifikasi simpang-siur kematian
ayahnya.
Benar adanya
bahwa sejarah pada akhirnya akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri
benar pula bahwa ada kecenderungan yang seolah tersusun rapi terhadap
“pembunuhan” Soekarno. Tidak banyak cerita 21 Juni 1970, pukul 07:00 WIB Bung
Karno menghembuskan napas terakhirnya. Adalah dr. Mahar Mardjono satu-satunya
orang yang menyaksikan “kepergian” Putra Sang Fajar. Keterangan yang ia
kemukakan, “Pada hari Minggu, 21 Juni 1970, pukul 04:00 pagi, Bung Karno dalam
keadaan koma. Saya dan dokter Sukaman terus berada di sampingnya. Menjelang
pukul 07:00 pagi, dr Sukaman sebentar meninggalkan ruangan rawat. Saya sendiri
berada di ruang rawat bersama Bung Karno.
Bung Karno berbaring setengah duduk. Tiba-tiba
beliau membuka mata sedikit, memegang tangan saya dan sesaat Bung Karno
menghembuskan napas terakhir.” Tak lama berselang, keluarlah komunike medis:
1.
Pada hari Sabtu 20 Juni 1970 pukul 20:30 keadaan
kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03:50 pagi, Ir.
Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07:00 Ir. Soekarno
meninggal dunia.
3.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha
mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Komunike itu
ditandatangani ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Wakil Ketua Mayjen Dr.
(TNI-AD) Rubianto Kertopati. Sementara itu, Syamsu Hadi, suami dari Ratna
Juami, anak angkat Bung Karno dan Inggit Ganarsih yang melihat jenazah Bung
Karno melukiskan dengan baik, “Wajah almarhum begitu tenang. Seperti orang
tidur saja tampaknya. Mata tertutup baik. Alis tebal tidak berubah, sama
seperti dulu.”
0 Comments: