HARI-HARI TERAKHIR BUNG KARNO PART 2-TAMAT

November 03, 2017 0 Comments


Satu hari bernama tanggal 18 mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu hari berikutnya yang bernama 19 Juni 1970, adalah bilangan 1440 menit, 86.400 detik. Tapi semua itu adalah tusukan duri bagi Soekarno yang tengah tergolek lemah.
Sedangkan 20 Juni tercatat sebagai simbol dwitunggal yang terpatri abadi. Sejarahlah yang berkuasa pada hari itu. Bung Hatta datang menjenguk sahabat seperjuangan. Sementara bung Karno seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang mengharu-biru seperti yang dikisahkan Meutia Hatta dalam bukunya: Bung Hatta: Pribadinya dalam kenangan.
Berkata lirih Soekarno kepada Hatta, “Hatta...kau disini...?
Seperti diiris-iris hati Hatta meihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi memompa semangat sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa, ditekannya dalam-dalam perasaan duka yang bisa mengekspresikan raut muram. Dikuatkan hatinya demi memancarkan wajah cerah, “Ya... bagaimana keadaanmu, No? Begitu hatta membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan.
Hatta spontan memegang lembut tangan Bung Karno. Senyum tetap dipaksakan tersungging di bibirnya. Ia benar-benar tak ingin sahabatnya bermuram durja. Alhasil, Bung Karno pun membalas senyum hatta sambil melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at Het met jou...”  (Bagaimana keadaanmu?)
Jebol juga pertahanan hati Hatta. Gejolak antara rasa haru, iba, sejuta tanya, bercampur menjadi satu melihat kondisi karno yang begitu memprihatinkan. Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa tau teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan mendengar sahabatnya menyapa dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgia. Apalagi usai berkata-kata lemah, Soekarno menangis terisak-isak.
Lelaki perkasa yang ketika muda seirng menulis artikel dengan nama samaran “Bima” itu menangis di depan kawan seperjuangannya. Seketika Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut berpisah. Keduanya bertangis-tangisan.

“No” hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan, mengayat hati siapa saja yang mendengarnya. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang menyesakkan dada, mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta minta dipasangkan kacamata agar dapat melihat sahabtnya lebih jelas.
Selanjutnya Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan mereka berbicaara melalui bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput guna mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang  kandas di tangan bangsanya sendiri.
Siapa yang tak murka mengetahui bahwa selama kurang lebih 1,5 tahun “dikerengkeng” di Wisma Yaso, Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, tokoh pemersatu dan proklamator bangsa, ternyata hanya diserahkan perawatannya secara penuh kepada dr. Soeroyo, dia bukanlah dokter spesialis, melainkan dokter hewan.

Ia masuk masuk-keluar Wisma Yaso dengan perawat-perawat yang tidak jelas didatangkan dari mana. Bahkan obat-obatan yang dicekokkan ke Bung Karno pun sama sekali tidak tepat. Ia hanya memberinya duvadilin (mencegah kontraksi ginjal), metadone (penghilang sara sakit), royal jeli, suntikan vitamin B1 dan B12, serta testosteron. Selain itu, Soekarno tiap malam juga minum valium.
Tiap malam minum valium selama tahunan, tentu saja membuat tidurnya tak lagi terkontrol. Akibatnya Soekarno mulai sering merasakan pusing. Setiap itu pula, perawat memberinya obat pengurang rasa sakit, novalgin.

Perawatan  yang sembrono juga sering terjadi. Ketika Bung Karno terbangun tengah malam dan muntah darah, dokter Soeroyo hanya memberinya vitamin. Sementara dokter Mahar Mardjono yang disebut-sebut sebagai ketua tim, sama sekali tidak pernah hadir ke Wisma Yaso. Itu semua terungkap dalam dokumen yang lebih 27 tahun tersimpan oleh Siti Khadijah, yang tak lain adalah istri dokter Soeroyo.
Ihwal Siti Khadijah ini sendiri menemukan dokumen itu secara tidak sengaja. Ketika suaminya meninggal dan sedang melakukan bersih-bersih ruangan, ia menemukan dokumen tersebut. Ia sempat bingung, mengingat eranya belum memungkinkan ia membeberkan ke publik. Terlebih kekuatan Soeharto dan pemerintahan Orde Barunya masih begitu dominan.
Kegusaran timbul manakala Ratna Sari Dewi Soekarno sempat mengeluarkan pernyataan yang kontroversial seputar kematian Bung Karno. Ia spontan teringat dokumen tersebut, yang bisa menjernihkan keadaan. Maka, ia pun berusaha sekuat tenaga menghubungi putra-putri Bung Karno.
Yang pertama kali ia datangi adalah Megawati Soekarnoputri. Sayang, ia tidak bisa bertemu, lantaran Mega tengah berada di luar kota. Petugas yang berada di rumah tidak bisa meyakinkan Siti Khadijah, sehingga ia tidak jadi menitipkan dokumen tersebut.
Ia pun beralih menjumpai Guntur Soekarnoputra. Sayang, usaha ini pun gagal. Sampailah saatnya ia bertemu seorang wartawan yang mengantarnya ke Rachmawati Soekarnoputri. Dokumen itu pun beralih tangan ke Rachma, hingga akhirnya Rachma pula yang berbicara di media massa, sekaligus mengklarifikasi simpang-siur kematian ayahnya.

Benar adanya bahwa sejarah pada akhirnya akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri benar pula bahwa ada kecenderungan yang seolah tersusun rapi terhadap “pembunuhan” Soekarno. Tidak banyak cerita 21 Juni 1970, pukul 07:00 WIB Bung Karno menghembuskan napas terakhirnya. Adalah dr. Mahar Mardjono satu-satunya orang yang menyaksikan “kepergian” Putra Sang Fajar. Keterangan yang ia kemukakan, “Pada hari Minggu, 21 Juni 1970, pukul 04:00 pagi, Bung Karno dalam keadaan koma. Saya dan dokter Sukaman terus berada di sampingnya. Menjelang pukul 07:00 pagi, dr Sukaman sebentar meninggalkan ruangan rawat. Saya sendiri berada di ruang rawat bersama Bung Karno. 

Bung Karno berbaring setengah duduk. Tiba-tiba beliau membuka mata sedikit, memegang tangan saya dan sesaat Bung Karno menghembuskan napas terakhir.” Tak lama berselang, keluarlah komunike medis:
1.    Pada hari Sabtu 20 Juni 1970 pukul 20:30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2.    Tanggal 21 Juni 1970 jam 03:50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07:00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
3.    Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Komunike itu ditandatangani ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Wakil Ketua Mayjen Dr. (TNI-AD) Rubianto Kertopati. Sementara itu, Syamsu Hadi, suami dari Ratna Juami, anak angkat Bung Karno dan Inggit Ganarsih yang melihat jenazah Bung Karno melukiskan dengan baik, “Wajah almarhum begitu tenang. Seperti orang tidur saja tampaknya. Mata tertutup baik. Alis tebal tidak berubah, sama seperti dulu.”


Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: