HARI-HARI TERAKHIR BUNG KARNO PART I

November 02, 2017 0 Comments


Bung Karno di akhir hayatnya sangat nista. Ia dinista oleh penguasa ketika itu. Ia sakit dan tidak mendapat perawatan yang semestinya bagi seorang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus tokoh pemersatu bangsa. Bahkan ada satu periode waktu di mana atas sakitnya, penguasa menugaskan dokter Soeroyo yang notabene adalah seorang dokter hewan.
Bahkan saat diisolasi, untuk sekedar bisa menghirup udara Jakarta (dari  pengasingan di Bogor), ia harus menulis surat dengan sangat memelas kepada Soeharto. Penjagaannya begitu ketat, privasinya benar-benar dilanggar. Lebih menyedihkan, ia dijauhkan dari keluarga, kerabat maupun para teman dekat.
Hari-hari terakhir Bung Karno mulai dari peristiwa 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20:15, harinya Selasa. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang menyebutkan, Soekarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit.
Hal itu ditegaskan oleh Ratna Sari Dewi Soekarno yang mengonfirmasi alasan militer, bahwa Bung Karno dibawa ke Rumah Sakit karena koma. Dewi mendapat keterangan yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa Bung Karno masuk ke dalamnya. Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar.

Sama kasarnya ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak melambai ke khalayak, tentara meariknya dengan kasar.
Adalah Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di saat-saat akhir. Mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas menyusul ke rumah sakit. Betapa gusar hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat di sekitar kamar tempat Bung Karno dirawat. Hati Rachma mengumpat, dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti penjagaan pelarian atau penjahat kriminal kelas kakap. “apakah bapak begitu berbahaya, sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak.
Dalam suasana tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang  ujung bercat kelabu. Tak ada keterangan ruang ICU atau ruang perawatan darurat sebagaimana  mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus menempel di tangannya, serta masker asam untuk membantu pernapasannya.
Untuk menggambarkan kondisi Soekarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad sekarang tak ubahnya bagi sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi  gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninjau langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas.”

Hari kedua, 17 juni 1970, Soekarno tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau makan. Bahkan, terhadap obat-obatan yang diberikan dokter pun enggan meminumnya. Setiap kali dokter hendak memberi suntikan pun, Bug Karno selalu menolak.
Atas sikap bapaknya, Rachmawati menerka, Bung Karno mengetahui bahwa semua pengobatan selama ini hanya untuk memperlemah dirinya. Dalam kacamata politik, pengobatan itu tak ubahnya suatu misi pembunuhan.
Karenanya, kondisi Soekarno makin lemah dari hari ke hari. Hingga saat itu Rachma berani bertanya kepada tim dokter yang merawat. Ia bertanya kepada Ketua Tim Dokter yang merawat Bung Karno, yakni Prof. Dr. Mahar Mardjono, “Mengapa sakit komplikasi yang diderita bapak dibiarkan begitu saja. mengapa tidak dilakukan cuci darah?” Mahar hanya menjawab sambil lalu, sehingga Rachma berkesimpulan dokter-dokter itu tidak benar-benar merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan, para dokter tampak tak punya rasa iba sedikit pun.
Dari dokumen catatan medis yang ada Prof. Mahar bahkan tidak pernah sekalipun mengunjungi Bung Karno di Wisma Yaso. Termasuk manakala Bung Karno mengalami situasi genting menyangkut kesehatannya, Prof. Mahar pun tidak berada di sana. Maka, manakala Rachma menggugat dr. Mahar ihwal cuci darah, lebih sakit hati Rachma ketika dr. Mahar mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris dan belum tentu ada. Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.”
Keterangan Mahar ini, di kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah lama tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu tak kunjung datang meski pembelian kabarnya telah dijajaki di Singapura dan Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokte menambahkan, “jangan-jangan memang sengaja tidak dibeli..”

Dalam keterangan lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter yang dipimpin Mahar Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang mengancam nyawa mereka seandainya mereka bekerja di luar kendali penguasa. Artinya, pasifnya tim dokter juga tak lepas dari intimidasi penguasa.
Karenanya dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung Karno kritis, Prof. Dr. Mahar mardjono sempat menuliskan resep khusus, namun obat yang diresepkannya itu disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat tinggi. Mahar mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr. Kartono Mohammad.
Kesaksian datang dari saksi lain yang juga mantan pejabat di era Soekarno. Menurutnya, adalah fakta bahwa Soekarno ditelantarkan oleh Soeharto pawa waktu sakit. Saksi yang juga seorang purnawirawan tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan yang seragam terhadap Soekarno berasal dari sebuah instruksi, “Yang memberi instruksi adalah Soeharto,” katanya.


Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: