HARI-HARI TERAKHIR BUNG KARNO PART I
Bung Karno di
akhir hayatnya sangat nista. Ia dinista oleh penguasa ketika itu. Ia sakit dan
tidak mendapat perawatan yang semestinya bagi seorang Proklamator Kemerdekaan
Republik Indonesia sekaligus tokoh pemersatu bangsa. Bahkan ada satu periode
waktu di mana atas sakitnya, penguasa menugaskan dokter Soeroyo yang notabene
adalah seorang dokter hewan.
Bahkan saat
diisolasi, untuk sekedar bisa menghirup udara Jakarta (dari pengasingan di Bogor), ia harus menulis surat
dengan sangat memelas kepada Soeharto. Penjagaannya begitu ketat, privasinya
benar-benar dilanggar. Lebih menyedihkan, ia dijauhkan dari keluarga, kerabat
maupun para teman dekat.
Hari-hari
terakhir Bung Karno mulai dari peristiwa 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa
ke RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul
20:15, harinya Selasa. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya
ada yang menyebutkan, Soekarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit.
Hal itu
ditegaskan oleh Ratna Sari Dewi Soekarno yang mengonfirmasi alasan militer,
bahwa Bung Karno dibawa ke Rumah Sakit karena koma. Dewi mendapat keterangan
yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa
Bung Karno masuk ke dalamnya. Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno
dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar.
Sama kasarnya
ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam
mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya
hendak melambai ke khalayak, tentara meariknya dengan kasar.
Adalah
Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya
di saat-saat akhir. Mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas
menyusul ke rumah sakit. Betapa gusar hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga
sangat ketat di sekitar kamar tempat Bung Karno dirawat. Hati Rachma mengumpat,
dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti
penjagaan pelarian atau penjahat kriminal kelas kakap. “apakah bapak begitu
berbahaya, sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak.
Dalam suasana
tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang ujung bercat kelabu. Tak ada keterangan ruang
ICU atau ruang perawatan darurat sebagaimana
mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus
menempel di tangannya, serta masker asam untuk membantu pernapasannya.
Untuk
menggambarkan kondisi Soekarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam
Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa dan sebab itu banyak
digila-gilai perempuan seantero jagad sekarang tak ubahnya bagi sesosok mayat
hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa
racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa
dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan
kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua tangannya yang
dahulu sanggup meninjau langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas.”
Hari kedua, 17
juni 1970, Soekarno tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau
makan. Bahkan, terhadap obat-obatan yang diberikan dokter pun enggan meminumnya.
Setiap kali dokter hendak memberi suntikan pun, Bug Karno selalu menolak.
Atas sikap
bapaknya, Rachmawati menerka, Bung Karno mengetahui bahwa semua pengobatan
selama ini hanya untuk memperlemah dirinya. Dalam kacamata politik, pengobatan
itu tak ubahnya suatu misi pembunuhan.
Karenanya,
kondisi Soekarno makin lemah dari hari ke hari. Hingga saat itu Rachma berani
bertanya kepada tim dokter yang merawat. Ia bertanya kepada Ketua Tim Dokter
yang merawat Bung Karno, yakni Prof. Dr. Mahar Mardjono, “Mengapa sakit
komplikasi yang diderita bapak dibiarkan begitu saja. mengapa tidak dilakukan
cuci darah?” Mahar hanya menjawab sambil lalu, sehingga Rachma berkesimpulan
dokter-dokter itu tidak benar-benar merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan,
para dokter tampak tak punya rasa iba sedikit pun.
Dari dokumen
catatan medis yang ada Prof. Mahar bahkan tidak pernah sekalipun mengunjungi
Bung Karno di Wisma Yaso. Termasuk manakala Bung Karno mengalami situasi
genting menyangkut kesehatannya, Prof. Mahar pun tidak berada di sana. Maka,
manakala Rachma menggugat dr. Mahar ihwal cuci darah, lebih sakit hati Rachma
ketika dr. Mahar mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris dan belum
tentu ada. Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.”
Keterangan
Mahar ini, di kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah
lama tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu tak
kunjung datang meski pembelian kabarnya telah dijajaki di Singapura dan
Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokte menambahkan, “jangan-jangan memang
sengaja tidak dibeli..”
Dalam
keterangan lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter yang dipimpin Mahar
Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang mengancam nyawa mereka seandainya
mereka bekerja di luar kendali penguasa. Artinya, pasifnya tim dokter juga tak
lepas dari intimidasi penguasa.
Karenanya
dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung Karno kritis, Prof. Dr.
Mahar mardjono sempat menuliskan resep khusus, namun obat yang diresepkannya
itu disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat tinggi. Mahar
mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr. Kartono Mohammad.
Kesaksian
datang dari saksi lain yang juga mantan pejabat di era Soekarno. Menurutnya,
adalah fakta bahwa Soekarno ditelantarkan oleh Soeharto pawa waktu sakit. Saksi
yang juga seorang purnawirawan tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan
yang seragam terhadap Soekarno berasal dari sebuah instruksi, “Yang memberi
instruksi adalah Soeharto,” katanya.
0 Comments: