TENTANG PERPISAHAN BUNG KARNO DAN FATMAWATI

November 01, 2017 0 Comments


Kisah cinta Bung Karno dan Fatmawati begitu dramatis, Usai menjalani pengasingan di Bengkulu, Bung Karno kembali ke Jakarta. Akan tetapi, sejatinya hati Soekarno tertinggal disana.  Hati Soekarno tertambat pada seorang gadis belia bernama Fatmawati. Setelah melalui lika-liku pertengkaran dahsyat yang berakhir dengan kesepakatan perceraian Bung Karno-Inggit Garnasih, akhirnya berhasil pula Soekarno menikahi Fatmawati melalui pernikahan “kawat” yang unit.
Perjalanan sepasang merpati penuh cinta ini akhirnya dikaruniai lima oarang putra-putri: Guntur, Mega,Rachma,Sukma dan Guruh. Belom genap mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Soekarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama hartini. Inilah pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara Soekarno dan Fatmawati.
Bagaimana Bung Karno menjelaskan ihwal perpisahan itu? Adalah sebuah misteri. Sampai ketika salah seorang ajudan dekatnya, Bambang Widjanarko, pada suatu sore di tahun 1962, memberanikan diri mempertanyakan hal itu. Bambang adalah salah satu ajudan yang diketahui sangat dekat hubungannya dengan putra-putri Presiden. Demi melihat hubungan anak-anak dengan ayahnya, tanpa seorang ibu di antara mereka, bambang sering merasa nelangsa.
“Ada apa, Mbang,” Bung Karno bertanya. “Mohon Bapak jangan marah, saya ingin membicarakan adik-adik tercinta, putra-putri Bapak.” “Ya, Mbang, ada apa dengan anak-anak? “Begini, Pak. Sudah dua tahun saya menjadi ajudan bapak. Setiap hari saya melihat dan bergaul dengan putra-putri bapak, saya juga amat menyayangi dan mencintai mereka. Mungkin segala keperluan lahiriah sudah cukup mereka peroleh, tapi menurut saya ada sesuatu yang amat mereka butuhkan, mereka dambakan siang-malam, yakni adanya seorang ibu yang mendampingi dan mengasihi mereka siang-malam. Karena itu, bila Bapak berkenan demi kebahagiaan anak-anak, apakah tidak lebih baik bila bapak meminta Ibu Fatmawati kembali ke istana?
Wajah Bung Karno seketika berubah menjadi kelam dan matanya tajam menatap Bambang, ajudannya. Tentu saja hal itu membuat Bambang kecut, campur aduk antara takut dan menyesal telah lancang mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno. Rumah tangga presiden, Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi.
Tapi, yang terjadi selanjutnya adalah Bung Karno diam barang semenit-dua menit. Setelah itu, senyum tipis tersungging di bibit Bung Karno seraya berkata. “Bambang, jangan takut, aku tidak marah kepadamu. Mari duduk, akan aku ceritakan kepadamu.”
Dengan kaki lemas dan menahan malu, Bambang akhirnya duduk mendengar uraian Bung Karno... “Mbang, pertama percayalah bahwa aku tidak marah kepadamu. Aku mengerti betul maksudnmu didasari kehendak baik demi anak-anakku sendiri yang juga kau sayangi. Engkau seorang muda yang penuh idealisme dan selalu berusaha mencapai itu menurut norma-norma yang kau pelajari dan kau ketahui. Itu baik, tetapi mungkin masih banyak juga yang belum kau mengerti.”
“Bambang.. menurut hukum Islam, seorang istri mempunyai kewajiban antara lain harus mengikuti suami dan berada di rumah suami. Istana Merdeka ini adalah rumahku. Aku tidak mempunyai rumah lain dan aku tidak pernah mengusir Ibu Fatmawati dari istana ini. Ibu Fat sendiri yang pergi meninggalkan rumahku, rumah suaminya. Aku juga tidak pernah melarang Ibu Fat untuk datang atau kembali ke sini atau melarang menengok serta berada dengan anak-anak. Ibu Fat bebas untuk datang dan berada di istana ini... Mbang, adalah kurang tepat bila aku meminta Ibu Fat kembali, aku tidak pernah mengusirnya.”
Selanjutnya, Bung Karno juga menceritakan saat-saat indah mereka di Bengkulu, zaman penjajahan Jepang. Juga saat-saat kebersamaan di Yogyakarta dan sebagainya. Banyak hal yang telah terjadi di antara keduanya dan itu menyadarkan siapa pun tentang betapa kompleksnya kehidupan manusia dn itu semua membuat Bambang tertunduk makin dalam. Ia merasa malu telah berani memberi nasihat Bung Karno tanpa berpikir panjang.
Akhirnya, Bung Karno menutup uraiannya dengan berkata, “Bambang, biarlah orang-orang, termasuk anak-anakku menyalahkan diriku, aku toh hanya seorang laki-laki. Tetapi, anak-anakku wajib mencintai dan terus menghormati serta meghargai ibunya. Semua kesalahan biar ada padaku dan Bambang, terima kasih atas perhatianmu pada anak-anakku. Meskipun bukan merupakan tugas pokok, tolong turutlah juga mengawasi anak-anakku itu.”

Mendengar uaraian penutup Bung Karno, tak terasa air mata mengalir pelan di pipi Bambang Widjanarko. Seketika Bambang berdiri, memberi hormat dan meninggalkan Bung Karno sendiri dalam kamarnya. Sejak itu hati kecilnya bersumpah, ia tidak akan pernah mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: